Pages

Sunday 21 August 2011

Lagu Rindu dalam Ruang Rindu Part 1


Lagu Rindu dalam Ruang Rindu 
tahun 2010 revisi 14 Maret 2011











Sampai detik ini aku masih bungkam menatap hampa sebuah amplop putih. Kemarin pagi, tiba-tiba seorang tukang pos menyampaikan amanah sebuah amplop untukku. Kuperhatikan dalam-dalam,  aku memang cukup tercengang ketika sederet huruf terukir di bagian depan amplop.
From Kartika
Jl. Mawar Mati No.5 Bogor
Jujur saja, aku cukup tak sudi mendapati seuntai kata itu. Sekilas saja hal itu menusuk batin kecilku. Perih. Entah sampai kapan kumembiarkan amplop itu tergeletak tiada nyawa. Mungkin aku hanya perlu banyak waktu agar jemariku mulai mau meraihnya.
Hari masih membuta. Fajar masih setia menemani luna hitam yang menunggu cahya surya yang akan mucul tinggal satu helaan nafas. Bersama itu, fajar pun beranjak.
Jilbabku tersentuh angin pagi lembut. Kabut masih merabunkan pandanganku. Langkahku terayun diantara tetes embun. Entah kemana tujuku. Sulit kukontrol. Aku merasa ada sesuatu yang memaksaku untuk pergi meninggalkan kemelutku selama ini dan memintaku untuk mencari sepenggal kisah yang telah hilang. Melangkah ke suatu tempat. Tempat…entahlah..aku tak tahu tempat apa.
Sejam lagi aku akan menemuimu
Aku menerima pesan singkat itu. Kuhela nafas. Aku hanya membacanya tanpa berniat menyanggahnya. Biarlah. Kala ini aku sedang malas dengan apapun meski hanya menekan keypad. Ah sudahlah!
***

Aku terhenti. Terhenti dalam kabut diantara hamparan rumput-rumput yang membisu. Tak ada siapapun di sana, kecuali aku, merpati yang hinggap, dan sepucuk surat itu. Kukatakan aku belum siap dengan coretan yang akan mewarnai lembaran itu.
Aku terhempas, duduk di atas bangku yang tak berpenghuni. Perlahan jilbabku tertiup angin yang tak bergeming. Ya, jilbabku. Entah sejak kapan aku menutup mahkotaku dengan keikhlasanku.
Kuakui, lampau aku hanya mawar layu yang terinjak oleh hina yang kubiarkan mengerogotikuku, aku hanya sampah yang selalu menebar bau busuk di hadapan aroma anggrek yang nyaris berusia senja.
Setiap kali kutemui kelambu hitam, kubiarkan ragaku terapung tanpa arah hingga keglamoran malam yang buruk menjadi santapanku. Sesering kuacuhkan setiap sapaan lembut yang tak bosan memperingatiku, namun bisikan jahanam itu terlalu kuat untuk melawannya hingga telingaku seolah tak mau lagi menyambut sapaan lembut itu. Aku benar-benar wanita murahan yang tak pernah peduli dengan apapun yang menurutku tak ada gunanya. Aku hanya butuh kesenangan, tak peduli dengan rintihan anggrek yang lelah memintaku untuk meraih sedikit saja perkataannya. Biarkan saja.
Hingga…Ketika mega yang mulai ditinggalkan triliun titik-titik hitam. Aku mulai merasa lelah dengan hidupku, aku mulai merasa kebahagianku tiada sempurna. Entah mungkin ini suratan yang tergaris untukku, tiba-tiba aku menemukan seberkas sinar diantara debu yang menyesakkanku.
“Namaku Jona.”
Ucapan pertamanya benar-benar menggetarkanku. Aku merasa sebuah tamparan lembut menghampiriku tanpa sangka hingga nyaris  membangunkanku dari semua mimpi buruk yang kulakoni. Entahlah. Kulihat kharisma menawannya, paras indo berkulih putih dengan bola mata yang indah dan rambut yang tertata rapi. Namun jujur saja semua itu tak sedikitpun meluluhkanku, hanya saja…ucapannya..sekali lagi, ucapannya benar-benar menggetarkanku. Aku merasa tak berdaya.

***

Perlahan aku mulai mengenalinya. Hampir setiap datang fajar atau senja, dia menemuiku diantara hamparan rumput. Dia selalu menjadi kumbang yang tak lelah menemui mawar layu yang telah ternodai. Dia mengajarkanku tentang sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang penuh air mata namun dijalani oleh senyuman.
Pada awalnya, aku sering menolak setiap berkas cahaya yang perlahan masuk melalui celah batinku. Aku tak peduli dengan ucapannya yang mungkin berarti namun sungguh bagiku hal itu hanya omong kosong belaka yang diungkapkan oleh orang awam yang tak memiliki hubungan apapun denganku. Untuk apa kumendengarnya? Aku baru mengenalnya tak lama ini. Ah! Kenapa takdir mempertemukanku denganya?
“Kamu ini wanita, tidak seharusnya kamu membiarkan debu-debu mengkasarkan kelembutanmu.”
Kala itu aku memang risih dengan ceramah yang membosankan darinya.
Aku merasa dia telalu mencampuri urusanku. Kendati jujur, setiap ucapannya selalu saja membuatku bergetar.
Berulang kali kutolak pesan-pesannya. Aku tak peduli. Untuk apa? Aku baru saja mengenalinya tak lama ini. Yang membuat aku heran, aku tak pernah sekalipun melihat dia melakukan sesuatu yang dia perintahkan padaku.
“Sepertinya sudah Ashar, kamu sebaiknya shalat dulu.” pintanya padaku suatu ketika.
“Kamu sendiri? Apa kamu sudah shalat?”
Ketika itu dia hanya menatapku tanpa sahutan darinya, lantas dia pergi menghindar. Hal itu sering terjadi berulang kali. Apa maksud semua itu? Sampai sekarang aku tak mengerti. Dan aku hanya membiarkan seperti itu, aku tak mau tahu dan tak akan peduli.
 “Kurasa kamu lebih cantik kalau seperti ini.”
Dia memasang jilbab putih yang menutup rambutku. Dia memancarkan senyum untukku. Manis memang. Hanya saja aku muak dengan omong kosongnya yang sampai detik itu selalu menghantuiku.
Segera kulepas jilbab itu dari kepalaku, ”Untuk apa kamu terus mencampuri urusanku?” tanyaku ketus.
Dia tak menyanggah. Diam.
“Apa kamu punya maksud di balik semua ini?” tanyaku lagi tanpa peduli apa dia tersinggung atau tidak.
Masih sama. Dia sama sekali tak berkutik. Kuperhatikan dia, segera dia memalingkan muka dariku, entah apa yang dia pikirkan. Seperti biasa, aku menangkap sinar dari matanya.
“Sudah aku duga, pasti kamu menyimpan maksud lain.”
Kusodorkan jilbab putih itu padanya. Tanpa permisi kuayunkan kaki berniat beranjak dan pergi dari semua ucapan membosankan darinya.
“Seharusnya kamu bersyukur dengan apa yang kamu miliki sekarang.”
Langahku spontan terhenti mendengar suara lembut yang sudah biasa menggetarkanku. Aku hanya terhenti, tak sedikitpun kubiarkan pandanganku tertuju padanya.
Sesaat terdengar sayup langkah menghampiriku, ”Entah dari kapan tiba-tiba saja aku merasa galau. Jujur saja aku merasa mulai ragu dengan apa yang kuyakini saat ini. Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan.”
Dia berhenti sejenak, terdengar lirih nafasnya. Kali ini kubiarkan mataku terarah padanya, dan kulihat dia masih memegang jilbab itu.
“Setiap kali kulihat orang-orang berhamburan ke mesjid ketika adzan bergema, setiap kali aku melihat santri melantunkan ayat Al qur’an, setiap kali aku melihat anak-anak kecil dengan polosnya bersenandung shalawat, aku selalu merasa damai. Entah mengapa, dalam mimpiku aku merasa ada sinar yang melelapkanku hingga aku terbangun dengan damai.”
Aku mulai tak mengerti dengan ucapannya. Sungguh aku sama sekali tak paham, apa yang dia maksud? Lagi, kulihat matanya, tak kusangka matanya mulai berkaca. Aku merasa dalam hatinya dia mempertanyakan sesuatu yang mungkin sampai detik itu tak kunjung dia dapat jawabannya. Kuhela nafas pelan. Aku tak menyahutnya ,kubiarkan dia kembali bersuara tanpa komandoku.
“Sudahlah! Lupakan saja!” lanjutnya, kulihat butiran bening yang nyaris tumpah mampu dia pertahankan dan meminta mereka kembali membasahi hatinya yang gelisah (mungkin), ”Kamu simpan ini, aku tidak peduli apa kamu mau menerimanya atau tidak.” dia menyerahkan jilbab itu padaku, seorang wanita murahan yang busuk, ”Ingat! Kamu harus bisa mengenali dirimu yang sesungguhnya, aku yakin kamu adalah wanita sempurna. Jadi jangan sia-siakan apa yang seharusnya tidak kamu sia-siakan.”
Ucapan itu..amat menyentuhku. Amat merapuhkan kebusukkan hatiku, kendati kubelum paham arti kalimat itu. Namun..aku benar-benar tersentuh. Aku tak tahu racun apa yang mulai merasuk tubuhku. Tidak! Kurasa itu bukan racun, tapi obat penawar hati agar semua pintu batinku terbuka menyambut kilau sinar yang telah lama menungguku. Kugemgam erat jilbab itu seiring dengan pandanganku yang mengarah padanya hingga dia lenyap.
“Kuharap dia akan tetap menemuiku.” lirihku tanpa sadar.

***

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.