Pages

Sunday 21 August 2011

Lagu Rindu dalam Ruang Rindu Part 1


Lagu Rindu dalam Ruang Rindu 
tahun 2010 revisi 14 Maret 2011











Sampai detik ini aku masih bungkam menatap hampa sebuah amplop putih. Kemarin pagi, tiba-tiba seorang tukang pos menyampaikan amanah sebuah amplop untukku. Kuperhatikan dalam-dalam,  aku memang cukup tercengang ketika sederet huruf terukir di bagian depan amplop.
From Kartika
Jl. Mawar Mati No.5 Bogor
Jujur saja, aku cukup tak sudi mendapati seuntai kata itu. Sekilas saja hal itu menusuk batin kecilku. Perih. Entah sampai kapan kumembiarkan amplop itu tergeletak tiada nyawa. Mungkin aku hanya perlu banyak waktu agar jemariku mulai mau meraihnya.
Hari masih membuta. Fajar masih setia menemani luna hitam yang menunggu cahya surya yang akan mucul tinggal satu helaan nafas. Bersama itu, fajar pun beranjak.
Jilbabku tersentuh angin pagi lembut. Kabut masih merabunkan pandanganku. Langkahku terayun diantara tetes embun. Entah kemana tujuku. Sulit kukontrol. Aku merasa ada sesuatu yang memaksaku untuk pergi meninggalkan kemelutku selama ini dan memintaku untuk mencari sepenggal kisah yang telah hilang. Melangkah ke suatu tempat. Tempat…entahlah..aku tak tahu tempat apa.
Sejam lagi aku akan menemuimu
Aku menerima pesan singkat itu. Kuhela nafas. Aku hanya membacanya tanpa berniat menyanggahnya. Biarlah. Kala ini aku sedang malas dengan apapun meski hanya menekan keypad. Ah sudahlah!
***

Aku terhenti. Terhenti dalam kabut diantara hamparan rumput-rumput yang membisu. Tak ada siapapun di sana, kecuali aku, merpati yang hinggap, dan sepucuk surat itu. Kukatakan aku belum siap dengan coretan yang akan mewarnai lembaran itu.
Aku terhempas, duduk di atas bangku yang tak berpenghuni. Perlahan jilbabku tertiup angin yang tak bergeming. Ya, jilbabku. Entah sejak kapan aku menutup mahkotaku dengan keikhlasanku.
Kuakui, lampau aku hanya mawar layu yang terinjak oleh hina yang kubiarkan mengerogotikuku, aku hanya sampah yang selalu menebar bau busuk di hadapan aroma anggrek yang nyaris berusia senja.
Setiap kali kutemui kelambu hitam, kubiarkan ragaku terapung tanpa arah hingga keglamoran malam yang buruk menjadi santapanku. Sesering kuacuhkan setiap sapaan lembut yang tak bosan memperingatiku, namun bisikan jahanam itu terlalu kuat untuk melawannya hingga telingaku seolah tak mau lagi menyambut sapaan lembut itu. Aku benar-benar wanita murahan yang tak pernah peduli dengan apapun yang menurutku tak ada gunanya. Aku hanya butuh kesenangan, tak peduli dengan rintihan anggrek yang lelah memintaku untuk meraih sedikit saja perkataannya. Biarkan saja.
Hingga…Ketika mega yang mulai ditinggalkan triliun titik-titik hitam. Aku mulai merasa lelah dengan hidupku, aku mulai merasa kebahagianku tiada sempurna. Entah mungkin ini suratan yang tergaris untukku, tiba-tiba aku menemukan seberkas sinar diantara debu yang menyesakkanku.
“Namaku Jona.”
Ucapan pertamanya benar-benar menggetarkanku. Aku merasa sebuah tamparan lembut menghampiriku tanpa sangka hingga nyaris  membangunkanku dari semua mimpi buruk yang kulakoni. Entahlah. Kulihat kharisma menawannya, paras indo berkulih putih dengan bola mata yang indah dan rambut yang tertata rapi. Namun jujur saja semua itu tak sedikitpun meluluhkanku, hanya saja…ucapannya..sekali lagi, ucapannya benar-benar menggetarkanku. Aku merasa tak berdaya.

***

Perlahan aku mulai mengenalinya. Hampir setiap datang fajar atau senja, dia menemuiku diantara hamparan rumput. Dia selalu menjadi kumbang yang tak lelah menemui mawar layu yang telah ternodai. Dia mengajarkanku tentang sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang penuh air mata namun dijalani oleh senyuman.
Pada awalnya, aku sering menolak setiap berkas cahaya yang perlahan masuk melalui celah batinku. Aku tak peduli dengan ucapannya yang mungkin berarti namun sungguh bagiku hal itu hanya omong kosong belaka yang diungkapkan oleh orang awam yang tak memiliki hubungan apapun denganku. Untuk apa kumendengarnya? Aku baru mengenalnya tak lama ini. Ah! Kenapa takdir mempertemukanku denganya?
“Kamu ini wanita, tidak seharusnya kamu membiarkan debu-debu mengkasarkan kelembutanmu.”
Kala itu aku memang risih dengan ceramah yang membosankan darinya.
Aku merasa dia telalu mencampuri urusanku. Kendati jujur, setiap ucapannya selalu saja membuatku bergetar.
Berulang kali kutolak pesan-pesannya. Aku tak peduli. Untuk apa? Aku baru saja mengenalinya tak lama ini. Yang membuat aku heran, aku tak pernah sekalipun melihat dia melakukan sesuatu yang dia perintahkan padaku.
“Sepertinya sudah Ashar, kamu sebaiknya shalat dulu.” pintanya padaku suatu ketika.
“Kamu sendiri? Apa kamu sudah shalat?”
Ketika itu dia hanya menatapku tanpa sahutan darinya, lantas dia pergi menghindar. Hal itu sering terjadi berulang kali. Apa maksud semua itu? Sampai sekarang aku tak mengerti. Dan aku hanya membiarkan seperti itu, aku tak mau tahu dan tak akan peduli.
 “Kurasa kamu lebih cantik kalau seperti ini.”
Dia memasang jilbab putih yang menutup rambutku. Dia memancarkan senyum untukku. Manis memang. Hanya saja aku muak dengan omong kosongnya yang sampai detik itu selalu menghantuiku.
Segera kulepas jilbab itu dari kepalaku, ”Untuk apa kamu terus mencampuri urusanku?” tanyaku ketus.
Dia tak menyanggah. Diam.
“Apa kamu punya maksud di balik semua ini?” tanyaku lagi tanpa peduli apa dia tersinggung atau tidak.
Masih sama. Dia sama sekali tak berkutik. Kuperhatikan dia, segera dia memalingkan muka dariku, entah apa yang dia pikirkan. Seperti biasa, aku menangkap sinar dari matanya.
“Sudah aku duga, pasti kamu menyimpan maksud lain.”
Kusodorkan jilbab putih itu padanya. Tanpa permisi kuayunkan kaki berniat beranjak dan pergi dari semua ucapan membosankan darinya.
“Seharusnya kamu bersyukur dengan apa yang kamu miliki sekarang.”
Langahku spontan terhenti mendengar suara lembut yang sudah biasa menggetarkanku. Aku hanya terhenti, tak sedikitpun kubiarkan pandanganku tertuju padanya.
Sesaat terdengar sayup langkah menghampiriku, ”Entah dari kapan tiba-tiba saja aku merasa galau. Jujur saja aku merasa mulai ragu dengan apa yang kuyakini saat ini. Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan.”
Dia berhenti sejenak, terdengar lirih nafasnya. Kali ini kubiarkan mataku terarah padanya, dan kulihat dia masih memegang jilbab itu.
“Setiap kali kulihat orang-orang berhamburan ke mesjid ketika adzan bergema, setiap kali aku melihat santri melantunkan ayat Al qur’an, setiap kali aku melihat anak-anak kecil dengan polosnya bersenandung shalawat, aku selalu merasa damai. Entah mengapa, dalam mimpiku aku merasa ada sinar yang melelapkanku hingga aku terbangun dengan damai.”
Aku mulai tak mengerti dengan ucapannya. Sungguh aku sama sekali tak paham, apa yang dia maksud? Lagi, kulihat matanya, tak kusangka matanya mulai berkaca. Aku merasa dalam hatinya dia mempertanyakan sesuatu yang mungkin sampai detik itu tak kunjung dia dapat jawabannya. Kuhela nafas pelan. Aku tak menyahutnya ,kubiarkan dia kembali bersuara tanpa komandoku.
“Sudahlah! Lupakan saja!” lanjutnya, kulihat butiran bening yang nyaris tumpah mampu dia pertahankan dan meminta mereka kembali membasahi hatinya yang gelisah (mungkin), ”Kamu simpan ini, aku tidak peduli apa kamu mau menerimanya atau tidak.” dia menyerahkan jilbab itu padaku, seorang wanita murahan yang busuk, ”Ingat! Kamu harus bisa mengenali dirimu yang sesungguhnya, aku yakin kamu adalah wanita sempurna. Jadi jangan sia-siakan apa yang seharusnya tidak kamu sia-siakan.”
Ucapan itu..amat menyentuhku. Amat merapuhkan kebusukkan hatiku, kendati kubelum paham arti kalimat itu. Namun..aku benar-benar tersentuh. Aku tak tahu racun apa yang mulai merasuk tubuhku. Tidak! Kurasa itu bukan racun, tapi obat penawar hati agar semua pintu batinku terbuka menyambut kilau sinar yang telah lama menungguku. Kugemgam erat jilbab itu seiring dengan pandanganku yang mengarah padanya hingga dia lenyap.
“Kuharap dia akan tetap menemuiku.” lirihku tanpa sadar.

***

Lagu Rindu dalam Ruang Rindu Last Part


Sinar-sinar abadi kian menyentuhku, kubiarkan celah terbuka hingga kuasa menyambut sapaan-sapaan manis yang telah dia ucap padaku. Batinku tersiram air yang mampu membeningkan setiap noda yang tersisa. Kucoba belajar dari setiap kalimat yang selalu mengiringiku dengan tulus. Ini amat berarti. Ya, kusebut ini berarti. Kata-katanya bukan lagi omong kosong yang kebiarkan keluar masuk tanpa makna. Kali ini aku mulai menerima semua pesan abadinya. Kuakui saat itu aku mulai sanggup melawan bisikan jahanam yang telah lama bersarang meracuni jiwaku.
Kulihat diriku sendiri lewat cermin, aku tersenyum namun sesaat aku enggan melihat diriku sendiri. Pantaskah seorang wanita murahan sepertiku mengenakan jilbab suci yang menutup aibku? Tuhan..mungkin aku akan menjadi cibiran dunia.
“Kamu lebih cantik kalau seperti ini.”
Aku kembali mengingat pujian ngawurnya itu. Kendati seperti itu, apa mungkin hatiku mampu seperti apa yang dia ucapkan? hmm…sudahlah! Aku tak mau peduli dengan hal yang meragu. Kubiarkan jilbab itu melekat, dan kuharap tetap bersamaku hingga aku tiada lagi bernafas. Kuikrarkan apa yang seharusnya kulakukan. Aku yakin akan ini. Aku yakin.

***

Hari pertama aku menjadi wanita yang tertutup dari segala keburukan. Sudah kuduga, setiap pasang mata yang melihatku, tertawa dan mengumpatku.  Sakit memang.Namun aku tak peduli. Hari itu aku putuskan untuk menemuinya di tempat yang biasa aku dan dia bertatap dan menyapa. Akan kutunjukkan bahwa aku telah menjadi apa yang dia inginkan. Ku akan menemuinya di atas hamparan rumput hijau, di bawah lazuardi yang selama ini membisu. Aku merasakan sebuah kedamaian yang nyata. Kutelah menemui makna hidup yang sesungguhnya. Aku berdiri, mencari sosoknya yang selalu menyambutku diantara tetes embun yang selalu membangunkanku dan senja jingga yang melelapkanku. Namun, tak kulihat dia, tak kutemukan lenteraku, kemana dia? Segera kulangkahkan kakiku, duduk di atas bangku.
“Mungkin dia belum datang.” sangkaku
Namun,cukup lama aku menunggu, menunggu bersama merpati yang bungkam menatap kehampaanku. Dia tak kunjung datang. Apa yang terjadi? Mungkinkah dia mulai bosan denganku yang tak pernah mau mendengarnya? ataukah dia membenci ketidakpeduliaanku padanya?Tuhan…

***

Setiap hari aku membiarkan jiwaku menuju tempat itu, berharap dia ada. Namun sampai detik itu dia tak sedikitpun menampakkan dirinya, bahkan aku tak mendapat kabar darinya. Aku luluh. Aku merasa hampa. Aku merasa kehilangan penawar kasih yang mulai kurasakan. Ya, kuakui aku mulai menaruh rasa padanya.  Aku jatuh cinta padanya.Kuingin menemuinya. Namun kapan?
Setiap malam aku bermunajah dalam sujudku berharap aku akan menemuinya. Aku akan menunggu hingga aku menutup mataku selamanya. Kuyakin dia masih ada.
Kekepal erat surat itu tatkala aku memutar memori yang telah lama usai. Tangisku membanjir. Aku merasa sesak. Aku tak sanggup lagi dengan kenyataan ini. Sudah cukup lama aku menunggu hingga saat ini. Namun semua seakan sia-sia. Aku mulai menyerah dengan keadaan. Aku lelah dengan penantian yang tak kunjung usai.
Surat itu…
Kutatap kembali surat itu. Kubaca lagi si pengirimnya.
From  Kartika
Jl.Mawar Mati No.5 Bogor
Kuhela nafas. Nama itu…
“Jona, untuk apa kamu berhubungan dengan wanita murahan seperti dia? Dia itu hanya sampah!”
Ketika itu umpatan menyakitkan itu sempat keluar dari orang yang melahirkannya, Kartika…
Ah…sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu, semua telah berlalu. Saat ini yang harus aku lakun adalah membaca surat itu. Ya, membacanya…tak peduli dengan kalimat apa yang terukir di dalamnya.
Perlahan kubuka amplop itu, di dalam terselip dua lembar kertas.

Bogor, 11 Februari 2010
Untuk Azifa Arina

Entah dari mana saya harus bicara. Saya merasa bersalah pada puteraku dan kau.
Mungkin kau heran kenapa tiba-tiba saja Jona menghilang dari hidupmu, jangan salahkan dia, karena saya yang memaksanya untuk menjauh darimu.
Jujur saja, awalnya saya tidak menyukai kehadiranmu, karena itu kupaksa Jona untuk segera meninggalkanmu tanpa pamit. Meski Dia sempat meminta satu hal sulit dari saya. Dengan berat hati kuturuti permintaanya asal dia mau menjauh darimu.
Kami pindah ke Singapore dengan harapan dia mampu melupakanmu, namun apa nyatanya? sama sekali dia tak mau melepas kenanganmu. Berulang kali saya memaksanya untuk melupakanmu, namun sulit. Hingga malam itu…dia  mengalami kecelakan hingga nyawanya tak tertolong.
Sebelum dia menghembuskan nafas terakhir, dia sempat memohon padaku untuk menitipakn surat untukmu, (saya selipkan surat itu dalam amplop ini).
Sejak itu aku mulai menyadari bahwa keberadaanmu menguatkannya. Saat itu saya merasa bersalah, membiarakan puteranya tertekan dengan kehendak ibunya. Saya  sadar sekarang..
Saya minta maaf padamu, saya tahu kau mungkin tak mau memaafkanku, tapi tolong…ini demi Jona..Sekali lagi saya minta maaf.

Kartika

Air mataku benar-benar membanjir, mimpikah aku?? Dia..
Segera kubuka lembaran kertas satu lagi.

Untuk wanita sempurna

Aku melihatmu saat itu. Aku merasa aku menemukan sesuatu darimu.
Semejak mengenalmu, aku merasa damai. Meski keadaanmu saat itu tak baik. Namun entah energi dari mana tiba-tiba aku ingin memperingatimu dengan apa yang kau jalani. Meski jujur, aku tidak tahu banyak dengan agama yang kau yakini. Aku terlalu awam. Jujur saja, aku hanya memegang alkitab, namun sungguh aku merasa ragu dengan itu. Entahlah.
Aku berusaha untuk menjadikanmu wanita sempurna di mata agamamu. Seiring waktu, tanpa sadarmu kamu telah membuatku jatuh cinta pada keyakinanmu dan dirimu. Ya, aku merasakan hal itu.
Namun tanpa mauku, tiba-tiba keluargaku memintaku untuk meninggakanmu tanpa alasan yang masuk akal. Aku tak tahu harus bagaimana. Hingga kuputuskan untuk rela meniggalkanmu asal aku pindah keyakinan. Awalnya mereka menolak, namun aku terus memaksa. Hingga mereka mengalah.
Lihatlah..aku sama sepertimu sekarang…
Maafkan aku…aku tak pamit padamu, .aku tak bermaksud meninggalkanmua...maafkan aku, terima kasih atas segalanya.
Orang yang mencintaimu dan agamamu
Kali ini aku menangis histeris, kantung air mataku terperas habis hingga nyaris tak tersisa. Pedih. Aku tak percaya dengan apa yang kudapatkan. Ini tidak mungkin! Kupeluk erat surat itu, aku merasa ada nyawanya menyentukku. Aku merindukannya.
“Azifa.”
Tiba-tiba suara yang amat kukenali menghampiriku. Aku tahu siapa dia. Segera kuhapus air mataku. Kuharap dia mengerti. Aku menoleh padanya, kita saling melempar senyum. Segera aku bangkit dan tertatih menghampiriya, dia meraihku. Aku melangkah bersamanya. Bersama dia yang telah memiliku. Kita beranjak dari tempat itu, dari memori yang tercipta di sana, kenangan yang selamanya tak akan kulenyapkan dari ingatanku. Kulihat dia yang baru saja sukses meraihku, jika saya aku memperdulikan hatinya, ketika itu pula aku akan segera melepas gemgamannya, setelah itu aku akan lari menjauhinya, sangat jauh, sungguh hatiku telah rapat terhalang oleh cinta Jona yang kini hilang dari pandanganku, bahkan jika aku tak melihat kesetiannya, dia yang kini telah memilikiku, aku akan memaksa Tuhan untuk segera memanggilku lalu kupinta Dia untuk mempertemukanku dengan Jona, sungguh jika itu terjadi, aku akan memeluknya erat dan aku hanya akan mengatakan dua kata untuknya, “Aku mencintaimu.” , namun aku masih sadar, aku harus bertanggung jawab atas janjiku untuk setia mempertahankan kasih dia yang mempersuntingku sebulan yang lalu. Aku harus siap, seburuk apapun itu, karena aku yakin dia tak akan mengingkari janjinya. Aku yakin.
SEKIAN

Fajar Pada Suatu Sore

Fajar  Pada Suatu Sore
Lina Ramdayani
(21 Agustus 2011)

Satu sapa yang sempat menjadi asa
segelintir mimpi yang tak tersentuh
menciptakan setitik isyarat
untuk segores jingga
sebelum surya tampak di upuk

Tertoreh semara yang tersembunyi dalam batin
membaburkan perasaan hingga dura
dan gemilap rona fajar
memberi damai yang nyaris sempurna

Sebaris bahasa batin itu tersampaikan
menyapaku ketika senja menyambut
sempat aku bergeming
hingga kuhalau sebutir derai
apakah aku masih bermimpi?

Kau tawarkan aku segenggam bahagia
yang sempat kutoreh dalam mimpi
masih tersimpan asa yang tak kau ketahui
hingga esok atau bahkan selamanya
tak kan kubiarkan mulut berucap

Bagiku kau adalah fajar
menyapaku ketika aku terjaga
dan tak ‘kan berpulang
sebelum aku siap mengukir kenangan lain
tanpa kemilaumu

Fajar dalam petang yang fana
temui aku esok bersama nuriah jinggamu
aku akan menunggumu
hingga Tuhan mencabut kasih
yang kusimpan hanya untukmu

(untuk DIA [Dawn In the Afternoon] seseorang yang nyaris memberi kesempurnaan dalam hidupku bakan nyaris mematikanku. Dia yang sempat kucintai)

Saturday 20 August 2011

Suatu Petang di Medan


Suatu Petang di Medan
Agustus 2011
Dikutsertakan dalam Lomba Menulis Puisi Nasional 2011

Suatu petang di medan
gema derak mematikan cakrabuana
melesat menancapkan kemelut
hingga ribuan insan wigata jeri
merintih terisak hingga batin yang terkoyak

Suatu petang di medan
lelaki renta terjaga dari duranya
melupakan raga dan gana
melesatkan sebatang panah tua
kepada mereka pencari pajuan
hanya demi sebuah merdeka

Suatu petang di medan
tanah kami makin babur
bonar makin mengusik rasa
hingga setangkai panah menimpa si renta
raganya ajur tiada lagi berdaya
begitu jemawa mereka menertawakannya

Suatu petang di medan
ribuan derai mengiringi
lelaki yang telah andam
tanpa lagi kesempurnaan raga
dan di bawah renal senja
sempat tersimpan asa
bahwa kami masih bisa merdeka

Friday 19 August 2011

Alapyu, plend Part 1

Alapyu, Plend
Agustus 2011
Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) 2011








“Kita tetap sahabat, selamanya akan tetap menjadi sahabat,”
Terkadang sebaris ikrar itu malah membuatku sesak. Dan ketika mulutku memaksa untuk mengucapnya, ketika itu aku ingin sekali tersedu mengunci rapat mulutku, hanya saja keadaan terus memaksaku. Kutahu itu adalah janji, bukankah janji sepatutnya tak diingkari? Namun sungguh aku tak berdaya dengan sebaris kalimat yang aku dan dia ikrarkan sejak lama di sebuah halte sekolah di bawah gerimis senja menjelang malam.
   “Bengong aja,”
Satu tepukan di pundakku membuatku kaget. Tanpa menolehpun kutahu dia adalah Akbar, lelaki yang kukenal tiga tahun lalu yang kini jadi sahabatku, hanya sahabat.
   “Lagi apa?”
Dia duduk di sebelahku, di sebuah halte depan sekolah, tempat biasa kami bersama. Aku sedikit menggeser posisi duduk.
   “Lagi mikirin Redy dong..” ungkapku menyembunyikan lamunan singkatku siang itu.
   “Jangan cuma dipikirin, deketin dia,”
   Aku hanya memberinya seyuman, malas rasanya menyanggah yang satu ini.
   “Aku jadian sama Lifa,” bisik Redy tiba-tiba.
Bisikannya nyaris seperti desing yang mematikan, rasanya saat ini aku ingin bangun lantas berlari menjauhinya dan tak mau lagi menemuinya. Aku sangat remuk. Untung saja aku masih terlalu kuat untuk menahan antrian butiran isak yang sudah siap membasahi. Aku tak mau kemunafikanku terbongkar hari ini, aku belum siap menerima kepedihan yang lebih dari ini.
   “Wah? Kok bisa? Kamu pake jurus apa sampe bisa meluluhkan dia?”
Aku berusaha terlihat sangat berempati padanya, memasang air muka sumringah dan mata berbinar.
   “Pake ini,”
Dia menempelkan telunjutknya di dadanya. Spontan aku memalingkan muka darinya. Aku mengerti dengan apa yang dia maksud. Hati, dengan hati dia akhirnya kuasa meraih Lifa, gadis yang dicintainya.  Entahlah, awalnya aku sendiri tak mengerti. Entah apa yang membuat dia klepek-klepek pada gadis alay itu, padahal aku tahu betul bahwa dia tidak suka dengan para mahkluk alay yang seringkali fulsome apalagi dengan gaya bahasa mereka. Aku tak mengerti dengan hatinya saat ini.
   Dan aku merasakan sakitnya sekarang. Ribuan senja itu telah bersama kami, dan rintik gerimis yang seringkali menjadi penawar senyum kami ketika kami bersama dalam kepenatan kini bagiku rintik itu telah memasuki mataku yang seringkali aku harus menahannya hingga aku merasa kesakitan. Ketidakberdayaanku yang membuatku harus mengalah.
   Akbar, aku mengenalinya tiga tahun lalu ketika kami sama-sama memulai kehidupan putih abu. Dia adalah anak rantauan dari Palembang, kedatangannya kemari hanya sementara, hanya mengikuti ayahnya yang bertugas di sini sebagai anggota polisi. Kukira kehadirannya hanya akan mempengaruhi hidupku, namun nyatanya mempengaruhi hatiku. Sungguh aku tak pernah meminta ini semua pada Tuhan, namun entah apa sedang Tuhan rencanakan. Aku tak berbuat apapun, diam. Aku seringkali dihantui dengan janji itu, janji kecil yang sangat membuatku merasa bahwa aku tak memilki harapan. Dan lusa aku tak akan menemuinya lagi, esok adalah pengumuman kelulusan. Dan setelah itu dia akan kembali, jauh dari jangkauanku, dan ini yang membuatku sangat sakit, esok mungkin aku akan menjadi serpihan –serpihan kecil yang terhempas oleh tiupan angin senja yang memayakan harapanku.
 “Kita tetap sahabat. Selamanya akan tetap menjadi sahabat,”
Kini aku harus menutupinya dengan hal bodoh, berpura-pura menyukai Redy. Aku pun tak mengerti kenapa kebohongan ini tertuju padanya, aku memang munafik, sangat. Jika kuingat siapa Redy? Sebelumnya aku tak mengenalinya sama sekali. Aku pertama melihatnya saat aku diajak Akbar melihat ekskul bola volley, kuingat waktu itu Akbar ingin melihat Lifa yang kebetulan anggota ekskul itu. Mungkin karena aku merasa perih ketika melihat pandangan manis Akbar pada Lifa, spontan saat itu aku memalingkan muka mengarah pada seorang cowok tinggi berkulit hitam manis dan dia adalah Redy.
“Bar, Bar, liat dia…manis…”
Kuingat itu kalimat “palsu” pertama yang kulontarkan pada Redy. Aku tak melihat ekspresi apapun darinya. Kufokuskan pandanganku pada Redy. Selepas waktu itu, Akbar menguraikannya pada Lifa, kutahu Lifa mengenali Redy. Dan pada akhirnya hingga kini aku masih menutupi diri. Ini memang menyakitkan, aku tahu itu, hanya saja aku tak mau terlihat seperti wanita malang yang tidak terlihat oleh sahabatnya sendiri.
“Kania!! Wei! Kamu kenapa?”
Mungkin lamunanku terlalu panjang hingga aku tak menyadari bahwa Akbar tengah berdiri di depanku sembari menepuk pundakku pelan.
“Eh ia, kenapa?”
“Kamu kemana aja sih?”
“Dari tadi aku di sini,”
“Jiwamu yang di sini, tapi pikiranmu entah kemana.”
Aku tak mengubris. Ragaku telah hilang menerobosi ruang batinnya yang rupanya telah termasuki oleh segenggam kasih lain yang bukan lagi asing untukku. Tergambar di hatinya satu cinta sempurna yang tak kuasa kusentuh dan menghapusnya hingga hilang tak membekaskan setitik luka apapun.
“Akbar…”
Sesaat kudengar ada seseorang yang memanggil Akbar dari arah gerbang sekolah. Kulihat, Lifa ternyata. Cantik, wajar saja jika Akbar menyukainya, hanya saja seragam putih abunya yang agak nyentrik membuatku sedikit mual.
“Hai…”
Kulihat Akbar memancarkan senyum, berbunga. Tentu saja ini cukup menyakitkan bagiku.
“Emm Kani, aku duluan ya? Gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa banget,”
Akbar bangun dari duduknya, usai pamit dia segera bergegas bersama Lifa, pacar barunya ke dalam sekolah. Lifa sempat menyapaku dengan melebarkan bibirnya, kubalas dengan sapaan yang sama. Lantas mereka hilang dari pandanganku. Aku kembali sendiri, menyepi tanpa kudengar rintih apapun selain geronggang kendaraan yang melintas. Aku terlalu bodoh. Sangat. Entah apa yang tengah Tuhan gariskan, aku seperti seorang pengecut munafik, diam ketika aku harus bicara.
***
 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.