Pages

Friday 19 August 2011

Hingga Fajar Esok Part 1

Hingga Fajar Esok (Lanjutan dari cerpen "alapyu, plend")
Agustus 2011
diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja 2011









Ketika cinta yang tak mungkin terjamah menyapa hanya sebatas samar dalam batin, dia akan merasa betapa cinta adalah ribuan senyum yang membuat hari lebih dari berharga, namun ketika cinta itu makin menyentuh hingga merasuk batin terdalam, dia akan merasakan sakitnya, seperti paksaan batin yang mematikan. Dan aku adalah dia yang telah dimatikan cinta, ketiada berdayaanku yang membuatku seperti makhluk yang tak pernah hidup.
Aku membiarkan ragaku menyepi usai fajar yang berlalu ke pangkuan mega yang sempat jingga dan kabut–kabut yang nyaris menyamarkanku. Termanggu diantara ratusan pasang mata dan berbaur bersama kepikukan mereka, orang – orang asing. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini.
Aku mengarah pada sandaran kursi yang kududuki, masih tertempel di sana secarik kertas kecil berwarna cokelat muda.
Apa kamu Akbar nak seorang polisi dari Palembang?Kalau iya, temui aku di tempat yang dulu biasa kita bersama. Aku tunggu.
                                                                                                                                                          -Kania-
Hingga ribuan malam kertas ini masih dalam keadaan yang sama, tak jua tersentuhnya. Dan makin lusuh. Setahun aku membiarkannya, hanya sekedar menatapnya, berulang kali kuganti, entah hilang kemana. Aku tak menemukan jawaban itu, kendati sempat kudapati seseorang  mencoret-coretnya.
Iya, aku Akbar. Tapi aku anak seorang TKI, hari ini aku lagi nunggu Ibuku, sampai sekarang ibu belum pulang.
Aku tak mau menganggap tulisan itu adalah kisah lain yang sama denganku atau mungkin sebuah lelucon, aku tak peduli. Aku lelah sekarang. Setahun ini kubiarkan aku mematung setelah fajar menyingsing hingga senja yang menyentuh bersama rona jingga yang menyapa hingga ketika malam mulai menjelang kuputukan beranjak tanpa seulas senyum pengobat rindu yang telah sekian lama meracuniku, ini karena Akbar, sahabatku yang kucintai. Dia meninggalkanku setahun lalu ke kota kelahirannya Palembang setelah kami lulus SMA tanpa sempat menyentuh batinku yang telah siap dia singgahi. Dia memang tak berjanji akan kembali, namun aku tetap menjadi manusia bodoh, menunggu tanpa tahu bahwa dia akan kembali atau tidak. Aku yakin kendati aku tak lagi kuasa menyapanya, dia akan mengingatku.
“Aku akan merindukanmu,” akuku setahun lalu di tempat yang sama, aku berdiri berhadapan dengannya.
“Bahkan aku lebih dari itu,”
Akbar perlahan membalikkan badan membelakangiku namun dia kembali memutarnya mengarah padaku.
“Kalau suatu hari nanti kamu ingin menemuiku, kamu minta pada Tuhan. Aku yakin Dia akan mengerti. Selamat tinggal,”
“Aku tunggu kamu di sini, Akbar,”
Aku yakin dia mengingat kalimat terakhir kami, aku yakin. Aku menunduk, menutup mataku. Tak kuasa kuhapus memori-memori itu dari ingatanku. Ketika petama aku menganalinya, berteman dengannya, hingga kami menyerah dengan waktu yang memaksa kami untuk bisa berbeda ruang. Aku diam.
Tak lama kemudian ada seseorang yang melempariku tiga buah uang recehan, aku mengangkat kepala, seorang lelaki lewat di hadapanku dan terseyum ketus. Sebenarnya aku sangat marah,  rasanya ingin kukejar dia dan sedikit memberinya pelajaran, namun aku sadar bagaimana aku sekarang, seorang gadis yang hanya memilki satu kaki kanan, kaki kiriku diamputasi. Dan semua terjadi ketika malam singkat itu sesaat setelah Akbar pergi, ketika malam singkat yang ternyata kutahu bahwa dia memiliki perasaan sama denganku namun hingga kepergiannya dia tak mau berterus terang, dia hanya menuliskannya di tempat dimana kami sering bersama, halte sekolah. Aku merasa remuk ketika itu. dan ketika aku benar-benar sendiri, seseorang menghampiriku, dialah Redy.
“Apa yang terjadi?” tanyanya saat itu, dia duduk di sampingku.
“Apa kamu pernah berpikir kalo aku cinta sama kamu?”
“Lifa pernah cerita soal itu,”
“Dan kamu percaya?”
“Aku bakal percaya kalo kamu sendiri yang bicara,”
Aku menatapnya sejenak, kulihat ada rona harapan darinya, namun ketika itu aku tak menganggapnya.
“Aku gak cinta sama kamu,”
Aku membiarkan mulutku berucap dengan ringan, tak peduli apa itu akan menyenangkan atau menyakitkan baginya.
“Aku tahu,”
“Kalo kamu tahu, kenapa kamu ke sini?”
Sejenak dia diam, menatapku perlahan seperti mencari sesuatu dari mataku, mungkin dia ingin memastikan bahwa aku tak membohonginya.
“Terus kenapa kalo kamu cinta sama Akbar, kamu malah menghindar?”
Dia malah memutar pertanyaanku, aku sedikit kesal, “Sekarang kamu jauhi aku!”
“Aku cinta sama kamu,”
“Aku cinta sama Akbar dan dia juga punya perasaan yang sama denganku, aku gak mau menyakiti kamu,”
“Kamu lebih milih dia yang gak bersama kamu daripada aku yang siap bersama kamu?”
Pertanyaan yang terlontar darinya membuatku diam, aku sungguh tak habis pikir. Dia menatapku, tampak ada mimik memohon darinya, aku memalingkan muka. Malam ini terasa begitu lama, aku dan Redy bersebelahan di halte sekolah, tempat yang biasa aku dan Akbar tempati diantara keramaian mereka yang pikuk dengan kesibukan mereka.  
Sejenak kutatap Redy, air mukanya masih sama. Perlahan kuputuskan untuk beranjak dari sana, meski aku yakin dia akan mencegahku.
“Kania,”
Aku tak memperdulikannya, aku terus melangkah menjauhinya menusuri jalan kecil di pinggir jalan.
“Kania, aku mohon…”
Kudengar lagi seruannya, jangankan untuk berhenti, menoleh pun aku enggan malah kupercepat langkahku bahkan tak kuperdulikan lagi sekelilingku, Aku merasa malam ini sangat buruk, ditinggal segores harapan dan sekarang setitik kasih yang sempat kujadikan topeng malah menghampiri. Aku kembali membiarkan tangisku bercucuran. Semakin kencang aku berlari dan terus berlari hingga aku merasa ada yang mengusik mataku, sebuah sinar yang menyilaukan dan spontan ada sesuatu yang bergerak kencang menujuku hingga aku terpental tak jauh dari benda yang mematikanku dan ketika itu masih sayup kudengar teriakan Redy menyeru namaku, masih sempat kulihat wajah malam ini, redup tanpa setitik cahya apapun, lunar seperti mengasihaniku, setelah itu aku lemas tak berdaya hingga aku tak ingat apapun.
***

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.