Pages

Friday 19 August 2011

Sejuta Senyum untuk Kak Shane


Sejuta Senyum untuk Kak Shane
Agustus 2011
Terpilih sebagai 21 Novelet Terpilih di event lomba novelet "Hyla dalam Episode" 







[CUPLIKAN]

LOMBA LARI MARATHON

    TINGKAT NASIONAL

Untuk yang ke sekian kalinya kubiarkan mataku membaca sederet kalimat yang tertulis di secarik kertas nila, untaian itu seringkali membuatku terjaga dari lena malam tanpa lantunan gita yang seringkali kudengar dari tuts-tuts yang biasa di mainkan jemarinya, kubiarkan pagi ini senyap hingga diurnus menyapa tanpa sentuhan.

Pagi ini di tahun senja awal November, aku sudah siap dengan diriku, kuperhatikan diriku di cermin yang menempel di dinding kamar. Aku memiliki rupa indo yang mengalir dari ibuku yang berkewarganegaraan Brazil, rambut lurusku yang agak pirang terurai lepas hingga sejengkal dari bahu. Kuingat Akmal, lelaki yang sekarang yang kumiliki sempat mengatakan bahwa aku mirip Dakota Fanning, ketika itu aku hanya melebarkan bibir, aku tak mau memuji diriku sendiri, kupikir itu terlalu berlebihan.

Kupastikan bahwa aku sudah rapi, setelah itu kuayunkan kaki hendak keluar kamar, sebelum beranjak kusempatkan untuk menemui Immanuela Shane, kakak kandungku. Sosok kakak paling kuat yang kukenal yang kini pada akhirnya menyerah dan melupakan hidupnya ketika Tuhan mengambil fungsi kaki dan matanya. Sekarang hidupnya telah ajur oleh derai yang tersimpan dalam batinnya, tak kudapati cahya dari matanya, seringkali dia menganggap bahwa dirinya telah mati.

Dari mulut pintu kamarnya, kulihat dia bergeming bersama kursi rodanya, mengarahkan matanya ke arah jendela yang embal oleh butiran embun karena gerimis membasahi kota ini semalam, kutahu pandangannya telah andam, namun sesungguhnya dia masih merasa bahwa hidup ini terlalu berharga jika dia membiarkan dirinya enyah tanpa meninggalkan sebaris pesan apapun.

“Safina.”

Tak kusangka ternyata dia menyadari keberadaanku, bergegas aku menghampirinya.

“Apa hari ini kakak mau aku antar ke Gereja?” tawarku, aku berdiri di sampingnya.

“Tidak, sekalipun aku ke sana, Tuhan tidak akan mendengarkanku.”

Aku tak menyanggah, jika aku memaksanya mungkin dia akan menghalauku untuk menjauh dari hidupnya, kutahu ini terlalu sulit untuknya.

“Kamu sudah shalat dhuha?” tanyanya kemudian seraya menoleh padaku meski kutahu dia tak melihat apapun selain kilauan hitam padam.

“Sudah,” balasku singkat.

“Kamu masih percaya pada Tuhan?”

“Tentu saja.”

Kudengar desahnya, lalu dia kembali mengarah pada jendela.

“Pergilah! Mungkin Akmal sudah menunggumu,” pintanya dengan nada lirih seperti desing yang mengelus telingaku.

“Aku akan selalu datang jika kakak membutuhkanku.”

Dengan perlahan aku mulai beranjak, sempat kutatap dia sejenak, tak sampai hati jika aku membiarkannya seperti candra redup yang telah kehilangan kemilaunya, dia telah melupakan asa yang seharusnya dia genggam saat ini. Aku masih berdiri di depan kamarnya, kulihat satu figura kecil terpajang di meja kecil yang terletak persis di sudut kiri depan kamar Kak Shane, aku menghampiri meja kecil berukuran segi empat itu, kuraih figura minimalis itu, tampak terpasang dua gambar mereka, darah kami yang telah hilang ke ruang lain yang tak kuasa tertembus oleh sentuhan lahiriah. Di sebelah kiri adalah foto ayah yang mengenakan jas hitam rapih yang diatas kepalanya tertempel songko yang senada dengan jasnya, di sampingnya adalah ibu, dia tampak anggun mengenakan dress ungu panjang tanpa lengan, kulihat pula sebuah kalung berliontin salib melilit lehernya. Aku mengerang sendiri, perlahan kurasakan ada kepedihan batin yang selama ini berusaha tak kusadari. Aku menggenggam erat figura itu, kubiarkan aku terjatuh lemas dan bersandar di dinding, dan mataku memanggil isak yang cukup lama kusembunyikan dari siapapun yang mengenaliku. Sekali lagi, kuambil secarik kertas nila itu dari tas kecilku, dan untuk ke sekian kalinya aku membacanya.

LOMBA LARI MARATHON

    TINGKAT NASIONAL

***

Kemelutku tak akan kubiarkan terus merajai batinku, jika Kak Shane telah mengalah dengan hidupnya, maka aku akan menjadi teja seminau sempurna baginya. Tak akan kubiarkan raganya lenyap begitu saja, sampai kapanpun. Dan serpihan mimpinya akan kubaurkan hingga mimpi itu bukan lagi sebatas ilusi maya.

Hari ini, aku meminta Akmal untuk mengantarku ke sebuah salon di pusat kota. Ketika kami sampai, kupinta dia untuk menunggu di luar, hari ini aku akan memberinya sedikit kejutan.

Aku masuk ke dalam salon, ternyata sepi, tak ada siapapun kecuali seorang mbak jiplakan yang tengah duduk-duduk sembari memotong kukunya. Aku langsung  disambut oleh seorang lelaki yang agak nyentrik itu dan tentu saja lebih pantas disebut khunta. 

“Potongannya seperti ini,” pintaku, kuperlihatkan foto Kak Shane kepadanya.

“Sayang sekali, padahal rambutmu sangat bagus.”

Aku tak menggubrisnya, aku hanya sedikit tersenyum, rasanya malas sekali menyanggahnya. Lalu dia memulainya, cukup lama aku membiarkannya mengacak-mengacak rambutku dan dengan cepat memotongnya hingga seperti yang kupinta. Kulihat diriku di cermin yang berada tepat di depanku, sebuah perubahan fantastis, dan aku menyukainya.

Setelah usai, aku keluar. Kulihat lunar sangat nila dengan beberapa gamawan yang melayang. Kupikir ini sudah siang, bergegas aku menghampiri Akmal yang mungkin sudah lama menungguku, terlihat dia tengah berdiri di depan motor ninjanya sembari sedikit menghentakan jemari kakinya, aku yakin dia jenuh, apalagi dia harus mematung terpanggang syamsu dahina ini. Ketika aku berdiri di depannya, matanya spontan jegil memperhatikan rambutku, dia membuat kerutan di keningnya yang penuh dengan peluh.

“Apa kamu suka?” tanyaku percaya diri.

“Apa kamu sudah gila?”

Aku tertawa kecil sembari merapihkan potongan rambut baruku.

“Sekarang kamu mirip Dakota Fanning versi laki-laki.”

Dan aku tak membalasnya lagi, aku hanya tersenyum ketika dia mengatakan bahwa aku mirip akrtis Hollywood itu. Setelah itu aku tak membiarkan Akmal berbicara lebih dari ini, kutahu dia tak menyukainya. Tanpa permisi, aku bermaksud enyah darinya dan memanggil taxi yang kebetulan lewat.

“Safina, kamu mau kemana?” tanyanya heran ketika aku sudah membuka pintu taxi.

“Sekarang namaku Immanuela Shane bukan Safina Ashilaa.”

“Apa maksudmu? Bukankah itu nama kakakmu?”

Aku tersenyum, “Jika kamu ingin menemui Safina, datanglah ke tepi danau dekat komplek Mekar akhir November nanti.”

“Jika kamu ingkar?”

“Safina Ashilaa bukan pengingkar, percayalah!”

Tanpa kudengar sahutan darinya, aku langsung masuk ke dalam taxi, dari dalam kulihat dia berdiri memperhatikanku, aku yakin dia sedikit ganar untuk menanyakan padaku apa yang membuatku seperti ini.

Dan  sekarang aku telah menjadi wanodya yang memiliki ribuan sayap kuat yang tak akan pernah kubiarkan setangkai bulunya tersentuh oleh sebatang panah yang menderak. Esok adalah awal hidupku yang lain, hidup yang akan sejenak menggegar batin yang kini tak sedang merasakan kedamaian seutuhnya.

***

Aku sudah berdiri di depan sekretariat lomba, usai dari salon aku mengganti pakaianku, dan membuang jauh-jauh kefeminimanku. Sekitar satu jam aku mematung berdesakan dengan mereka yang yang sama sekali sangat asing, yang terlihat jelas di sini adalah mereka semua adalah laki-laki, beberapa diantara meraka bertubuh kekar dan agak seram. Namun aku tetap bersikap sewajarnya, sebagaimana seorang lelaki, dan akhirnya giliranku menghadap salah satu panitia, aku menyerahkan formulir lomba yang baru kuisi sejam lalu.

“Siapa namamu?” tanya lelaki yang agak paruh baya itu kepadaku, terlihat ID card panitia menempel di permukaan saku baju kirinya.

“Safina Ashilaa. Maaf, maksudku Immanuela Shane.” jawabku tegas, aku berusaha membesarkan suaraku agar terdengar seperti suara pejantan, namun nyaris saja aku mati di sini jika tak sengaja kubongkar topengku sendiri, jika itu terjadi, aku pasti akan sangat dipermalukan.

Lelaki berjengkot tebal itu sejenak memperhatikanku, aku merasa dia cukup meragukanku.

“Apa perlu kutunjukkan KTPku?” tantangku kemudian.

“Baiklah.”

Aku membuka dompetku untuk mengambil KTP, sebenarnya aku cukup gugup, aku takut jika hal buruk akan menghancurkan semuanya. Lalu aku segera memperlihatkannya kepadanya. Dia lantas memeriksa KTPku dan sesekali memperhatikanku, aku memberinya senyum lepas padahal sejujurnya bajuku penuh dengan keringat dingin.

“Usiamu 20 tahun?” tanyanya kemudian.

“Iya,” balasku, sungguh pembohong besar.

“Kami tunggu tanggal 25. Semoga kemenangan memihakmu.”

Dia menyerahkan kembali kartu KTPku, namun air mukanya masih saja kusut.

“Terima kasih.”

Aku menghela napas dalam-dalam, rasanya lega sekali, untung saja dis bisa kulabui. Sebelum ke sini, semalam aku sempat mengambil kartu KTP Kak Shane di laci kamarnya, aku pikir dengan potongan rambut yang sama persis dengannya, aku akan sama persis dengannya. Aku lakukan ini untuk Kak Shane, seberat apapun itu.

Aku bersandar di bawah pohon yang terletak tak jauh dari ruang sekretariat lomba, masih tampak ratusan orang antre memadati lapangan kantor, kurasa aku cukup beruntung, bahkan sangat tangguh sebagai seorang wanita yang masih berumur 16 tahun. Aku mengelus keningku yang terbanjiri oleh keringat, ini memang belum seberapa, namun aku sudah merasakan lelahnya. Mataku mengarah pada langit, hari ini sangat indah, kudengar rintihan merpati menggema di telinga bersamaan dengan sentuhan semilir angin yang membuatku berenergi kembali.

Sesaat kemudian kuambil HP di sakuku, kutekan keypad berniat menghubungi seseorang lewat video call. Sesaat aku menunggu, akhirnya muncul gambar seseorang yang mengenakan setelan kaos olahraga yang terlihat duduk di sebuah bangku di lapangan.

“Apa yang terjadi denganmu?” belum saja aku menyapanya, dia sudah dikagetkan dengan style rambut baruku.

Dialah Abnar, teman SMPku yang kini memilih jalan untuk menjadi atlet lari, dia sering mengikuti perlombaan lari marathon di berbagai tingkat, beberapa kali menang namun dia lebih sering kalah. Dan dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui rencanaku.

“Apa sekarang aku mirip Kak Shane?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Sedikit,” sanggahnya tampak ada rona terpaksa dari mukanya, dia terlihat meminum air mineral dingin lalu mengusap keningnya dengan handuk kecil.

“Terserah,” sahutku datar, “Besok aku siap latihan.”

Dia sedikit bengong, dia tak menyadari betapa buruknya dia ketika membiarkan mulutnya mangap seperti itu, aku berusaha untuk tidak meledeknya, “Apa kamu yakin?” dia mencoba memastikan.

“Hei, apa kamu tidak melihat mataku? Di sini ada kobaran api maut yang menandakan jiwa semangat yang tidak akan pantang menyerah.”

“Kamu terlalu berlebihan.”

Aku cengengesan melihatnya, rasanya lucu sekali jika aku melihatnya cemberut seperti itu.

“Besok siang aku tunggu di sini,”

“Ok,” kututup pembicaraan kami.

Ada setitik terang yang membangkitkanku, aku mulai merasa tersentuh oleh sejuta runiah rena, segores asa yang perlahan terjamah, akan kugoreskan marvel dalam hidup Kak Shane suatu hari nanti, aku janji.
                                                                          
bersambung...

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.