Pages

Friday 19 August 2011

Alapyu, plend Part 1

Alapyu, Plend
Agustus 2011
Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) 2011








“Kita tetap sahabat, selamanya akan tetap menjadi sahabat,”
Terkadang sebaris ikrar itu malah membuatku sesak. Dan ketika mulutku memaksa untuk mengucapnya, ketika itu aku ingin sekali tersedu mengunci rapat mulutku, hanya saja keadaan terus memaksaku. Kutahu itu adalah janji, bukankah janji sepatutnya tak diingkari? Namun sungguh aku tak berdaya dengan sebaris kalimat yang aku dan dia ikrarkan sejak lama di sebuah halte sekolah di bawah gerimis senja menjelang malam.
   “Bengong aja,”
Satu tepukan di pundakku membuatku kaget. Tanpa menolehpun kutahu dia adalah Akbar, lelaki yang kukenal tiga tahun lalu yang kini jadi sahabatku, hanya sahabat.
   “Lagi apa?”
Dia duduk di sebelahku, di sebuah halte depan sekolah, tempat biasa kami bersama. Aku sedikit menggeser posisi duduk.
   “Lagi mikirin Redy dong..” ungkapku menyembunyikan lamunan singkatku siang itu.
   “Jangan cuma dipikirin, deketin dia,”
   Aku hanya memberinya seyuman, malas rasanya menyanggah yang satu ini.
   “Aku jadian sama Lifa,” bisik Redy tiba-tiba.
Bisikannya nyaris seperti desing yang mematikan, rasanya saat ini aku ingin bangun lantas berlari menjauhinya dan tak mau lagi menemuinya. Aku sangat remuk. Untung saja aku masih terlalu kuat untuk menahan antrian butiran isak yang sudah siap membasahi. Aku tak mau kemunafikanku terbongkar hari ini, aku belum siap menerima kepedihan yang lebih dari ini.
   “Wah? Kok bisa? Kamu pake jurus apa sampe bisa meluluhkan dia?”
Aku berusaha terlihat sangat berempati padanya, memasang air muka sumringah dan mata berbinar.
   “Pake ini,”
Dia menempelkan telunjutknya di dadanya. Spontan aku memalingkan muka darinya. Aku mengerti dengan apa yang dia maksud. Hati, dengan hati dia akhirnya kuasa meraih Lifa, gadis yang dicintainya.  Entahlah, awalnya aku sendiri tak mengerti. Entah apa yang membuat dia klepek-klepek pada gadis alay itu, padahal aku tahu betul bahwa dia tidak suka dengan para mahkluk alay yang seringkali fulsome apalagi dengan gaya bahasa mereka. Aku tak mengerti dengan hatinya saat ini.
   Dan aku merasakan sakitnya sekarang. Ribuan senja itu telah bersama kami, dan rintik gerimis yang seringkali menjadi penawar senyum kami ketika kami bersama dalam kepenatan kini bagiku rintik itu telah memasuki mataku yang seringkali aku harus menahannya hingga aku merasa kesakitan. Ketidakberdayaanku yang membuatku harus mengalah.
   Akbar, aku mengenalinya tiga tahun lalu ketika kami sama-sama memulai kehidupan putih abu. Dia adalah anak rantauan dari Palembang, kedatangannya kemari hanya sementara, hanya mengikuti ayahnya yang bertugas di sini sebagai anggota polisi. Kukira kehadirannya hanya akan mempengaruhi hidupku, namun nyatanya mempengaruhi hatiku. Sungguh aku tak pernah meminta ini semua pada Tuhan, namun entah apa sedang Tuhan rencanakan. Aku tak berbuat apapun, diam. Aku seringkali dihantui dengan janji itu, janji kecil yang sangat membuatku merasa bahwa aku tak memilki harapan. Dan lusa aku tak akan menemuinya lagi, esok adalah pengumuman kelulusan. Dan setelah itu dia akan kembali, jauh dari jangkauanku, dan ini yang membuatku sangat sakit, esok mungkin aku akan menjadi serpihan –serpihan kecil yang terhempas oleh tiupan angin senja yang memayakan harapanku.
 “Kita tetap sahabat. Selamanya akan tetap menjadi sahabat,”
Kini aku harus menutupinya dengan hal bodoh, berpura-pura menyukai Redy. Aku pun tak mengerti kenapa kebohongan ini tertuju padanya, aku memang munafik, sangat. Jika kuingat siapa Redy? Sebelumnya aku tak mengenalinya sama sekali. Aku pertama melihatnya saat aku diajak Akbar melihat ekskul bola volley, kuingat waktu itu Akbar ingin melihat Lifa yang kebetulan anggota ekskul itu. Mungkin karena aku merasa perih ketika melihat pandangan manis Akbar pada Lifa, spontan saat itu aku memalingkan muka mengarah pada seorang cowok tinggi berkulit hitam manis dan dia adalah Redy.
“Bar, Bar, liat dia…manis…”
Kuingat itu kalimat “palsu” pertama yang kulontarkan pada Redy. Aku tak melihat ekspresi apapun darinya. Kufokuskan pandanganku pada Redy. Selepas waktu itu, Akbar menguraikannya pada Lifa, kutahu Lifa mengenali Redy. Dan pada akhirnya hingga kini aku masih menutupi diri. Ini memang menyakitkan, aku tahu itu, hanya saja aku tak mau terlihat seperti wanita malang yang tidak terlihat oleh sahabatnya sendiri.
“Kania!! Wei! Kamu kenapa?”
Mungkin lamunanku terlalu panjang hingga aku tak menyadari bahwa Akbar tengah berdiri di depanku sembari menepuk pundakku pelan.
“Eh ia, kenapa?”
“Kamu kemana aja sih?”
“Dari tadi aku di sini,”
“Jiwamu yang di sini, tapi pikiranmu entah kemana.”
Aku tak mengubris. Ragaku telah hilang menerobosi ruang batinnya yang rupanya telah termasuki oleh segenggam kasih lain yang bukan lagi asing untukku. Tergambar di hatinya satu cinta sempurna yang tak kuasa kusentuh dan menghapusnya hingga hilang tak membekaskan setitik luka apapun.
“Akbar…”
Sesaat kudengar ada seseorang yang memanggil Akbar dari arah gerbang sekolah. Kulihat, Lifa ternyata. Cantik, wajar saja jika Akbar menyukainya, hanya saja seragam putih abunya yang agak nyentrik membuatku sedikit mual.
“Hai…”
Kulihat Akbar memancarkan senyum, berbunga. Tentu saja ini cukup menyakitkan bagiku.
“Emm Kani, aku duluan ya? Gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa banget,”
Akbar bangun dari duduknya, usai pamit dia segera bergegas bersama Lifa, pacar barunya ke dalam sekolah. Lifa sempat menyapaku dengan melebarkan bibirnya, kubalas dengan sapaan yang sama. Lantas mereka hilang dari pandanganku. Aku kembali sendiri, menyepi tanpa kudengar rintih apapun selain geronggang kendaraan yang melintas. Aku terlalu bodoh. Sangat. Entah apa yang tengah Tuhan gariskan, aku seperti seorang pengecut munafik, diam ketika aku harus bicara.
***

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.