Pages

Friday 19 August 2011

Alapyu, plend Part 2


Senja nyaris berpulang, telah kudapati kharisma jingga hari ini hanya bersama kesendirian. Tinggal sehasta lagi ribuan titik hitam merapat hingga persis seperti lautan kapas hitam yang menggumpal, legam tanpa sinar. Mungkin esok adalah senja terakhir aku merasakan kepedihan batin yang amat dahsyat, mungkin. Atau bahkan aku malah merasakan kesakitan yang lebih hebat, entahlah.
Petang ini aku masih mematung di halte sekolah, saat ini aku ingin membaca lebih dalam akan perasaan batin yang semakin membuatku amat jeri ketakutan. Aku mengambil kalender mini dari saku bajuku, setiap hari aku selalu membawanya, ini akan mengingatkanku bahwa waktuku bersama Akbar tak ‘kan lama lagi. Kuarahkan mataku pada deretan angka itu,  garis bulat melingkari semua tanggal hari ini dan hari-hari yang lalu, itu artinya aku telah diam selama 1.5 tahun, waktu yang sangat lama untukku. Menunggu sebuah ketidakpastian hanya sendiri tanpa siapapun, namun aku cukup menikmatinya meski terkadang ini membuatku seperti kehilangan hidupku.
Kulihat tanggal selanjutnya, tanda silang berhenti di 1 hari selanjutnya. Tuhan…itu artinya tinggal 1 hari aku bertemu Akbar. Dan aku semakin dura, apa yang harus aku lakukan? Bisakan esok aku membuka batin dan membisikan setia baris perasaan yang belum tersampaikan? aku seperti terpenjara, aku belum menemukan kuncinya hingga aku tak kuasa melepas keterdiaman yang selama ini merajaiku. Rasanya sampai kapanpun aku akan tetap seperti ini. Tanpa kesempatan.
Aku nyaris saja menyobek kalender itu, aku takut. Ketakutan akan esok yang akan membuatku seperti mawar mati yang tak akan pernah tersentuh kumbang lagi. Tiba-tiba saja seseorang membuyarkan pikiranku, dari kejauhan terlihat Redy sedang mengobrol dengan Mang Mamam –tukang kebun sekolah-,rupanya dia masih di sini,  mereka berbicara berhapan, cukup serius, namun aku tak mau memperdulikannya. Aku yakin dia hanya meminta pada Mang Maman untuk memetik anggrek untuk dipersembahan khusus untuk Lifa, ya itu yang seringkali dia lakukan ketika dia bertemu Mang Maman. Biarkan saja dia seperti itu tanpa menyadari keberadaanku lebih dari yang dia rasa saat ini.
Aku membuang muka ketika dia menyadari bahwa aku memperhatikannya dari kejauhan, aku tak mau melihat cinta Lifa yang keluar dari matanya yang sayu. Tak lama kemudian, Akbar menghampiriku lantas dia duduk di sebelahku.
“Kamu masih di sini?” tanyaku seraya tergesa-gesa memasukkan kembali kalender itu, jika kubiarkan tergeletak, aku yakin dia akan menanyakannya, kerena untuk kali ini aku tak mampu menjawab meski aku berusaha memberinya sebuah elakan.
Dia hanya mengangguk dan sedikit mengangkat alis kanannya. Lalu dia mengambil HP dari saku celananya dan memasangkan headset di kedua telinganya. Sesaat tak ada perbincangan diantara kami, yang kudengar hanya deru mesin-mesin motor bergerak yang sesekali menyemburkan asap dari knalpotnya. Kulihat Akbar malah asyik memainkan HPnya, sembari menggerakan bibirnya mengikuti nyanyian yang ia dengar tanpa suara. Sebenarnya Akbar memilki suara bagus, aku pernah mendengarnya menyanyi di kamarnya ketika aku diam-diam berkunjung ke rumahnya.
Aku sejenak memperhatikannya, Akbar sangat manis, rambut lurus yang tertata rapi dan matanya yang agak sayu membuatku menyukainya,apalagi kulit putihnya menambah kesempurnaan lahiriahnya, jika saja rambutnya sedikit pirang, dia akan persis seperti Freddie Highmore. Aku langsung tersadar, jika saja Akbar menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya, aku akan gamam, tak tahu harus mengiyakan atau mengelak. Aku membuang napas, lalu mengangkat kepalaku hingga mataku mengarah pada mega yang semakin ditinggalkan samsunya. Lalu kulihat Akbar, dia masih anteng dengan nada-nada yang menggaung lembut di telinganya, bahkan aku merasa dia tak sedang memperdulikan keberadaanku, kuputuskan untuk merapihkan bajuku dan bermaksud bergegas. Malam ini aku harus benar-benar sendiri dan meyakinkan hati bahwa esok aku harus benar-benar siap menjadi merpati yang tak akan kehilangan sayap namun tak akan kuasa menari-nari lagi bersama hamparan awan-awan putih yang mempesona.
“Mau kemana?”
Kepergianku tercegah oleh Akbar, aku baru saja bangun dari dudukku, terpaksa aku duduk kembali.
“Pulang,” sanggahku.
“Sebentar aja di sini,” pintanya sembari melepas kedua headsetnya.
”Aku gak mau membuat masalah dengan Lifa,”
Aku berusaha menolaknya, meski sebenarnya aku ingin melewati malam ini hanya berdua dengan Akbar.
“Ah lebay banget kamu,”
Aku menyerah, kubiarkan telapak tanganku menahan dagu, persis seperti orang kebingungan. Tinggal seperempat jam lagi malam akan menjelang. Sejenak tak kudengar Akbar berucap apapun, entah apa yang dia sedang dia lakukan, aku malas menolehnya. Kubiarkan dia yang mendahului, namun beberapa saat dia tak berbicara juga. Aku merubah posisiku namun aku masih tak mau menolehnya.
“Gimana rasanya pacaran sama Lifa?” kupaksakan untuk memulai, aku tak mau waktuku terbuang seperti ini, justru keadaan seperti ini yang malah membuatku semakin merasakan kegalauan.
“Lebih bahagia dari yang kamu pikir,”
Kali ini aku terpaksa menolehnya, kulihat dia memberiku seyuman, aku membalasnya sejenak lalu membiarkan mulutku kembali membusur.
“Ya..kadang alaynya dia bikin aku eneg,”
Aku sedikit tertawa kecil, dia mengikutiku.
“Barusan di kantin dia protes soalnya aku gak bales sms dia yang semalam, ya aku jawab aja kalo bahasa dia itu gak bisa diterjemahkan,”
Aku tersenyum geli mendengarnya, “Terus dia bilang apa?”
“Ea gag apha-apha,” Akbar menirukan bahasa yang sering diucapkan Lifa, aku kembali tertawa kecil, rasanya rasa sakitku sedikit berkurang dengan lelucon itu meski yang menjadi tokoh utamanya Lifa.
            “Coba deh kamu baca smsnya.”
Dia menyodorkan HPnya padaku, sejenak aku menatapnya, seperti biasa dia tak menyadari tatapanku. Aku mencoba membacanya, kuyakin jika isi pesan itu adalah kalimat romantis yang malah akan semakin menyakitkanku, namun aku berusaha untuk bersikap sepeti “orang lain” yang tak mengenali hati Akbar.
mmm..yanx aqhu gag nyaxka lho
bza zadian mha qmu.
Aqhu senenk banged..
Aqhu k1ra qmu gag bener4n
Zuka mha aqhu..he he he
Makacih ea chaiank..
I luph u pull.,,

Sekali lagi, aku menghela napas, usai kubaca pesan pembangkit pilu itu aku memastikan bahwa Lifa adalah wanita beruntung, andai saja Tuhan bisa sekali saja memberikanku kesempatan yang sama, aku tak akan pernah menyia-nyiakannya.
“Gimana? Apa kata dia?”
 “Yang aku ga nyangka lho bisa jadian sama kamu, aku seneng banget. Aku kira kamu gak beneran suka sama aku, makasih ya sayang, I love u.”
Perlahan kubaca sederet kalimat pesan singkat itu dengan terbata kerena derai yang mulai memaksaku untuk kembali, nyaris saja saat itu juga aku menumpahkan tangisku, aku berandai jika saja kalimat terakhir adalah apa yang sesungguhnya ingin kukatakan, seringkali aku menyadarinya bahwa aku adalah wanita bahkan kurasa semua orang telah mengharamkan wanita memulai terlebih dulu.. Andai saja aku adalah Lifa, sungguh Tuhan …aku tak akan pernah menyia-nyiakannya.
“Yah dia ribet amat ngomong gitu juga.”
Akbar mengambil HPnya yang kupegang, tak ada rona memerah darinya. Aku heran, itu adalah kalimat manis dari wanita yang dicintainya, tapi aku tak melihat ada sesuatu yang istimewa dari auranya.
“Aku mesti bales gimana?” lanjutnya seperti telah kehilangan kalimat manis lain yang kurasa hanya dia yang sanggup menuliskannya.
“Yah,,kan itu sms basi, kalian udah bahas itu, jadi kenapa mesti dibalas?”
Akbar rupanya tak menyanggahku, dia malah menekan keypad HPnya. Kutunggu sejenak, Akbar hanya memijit beberapa tombol. Klik.
“Kamu balas apa?” tanyaku tak lama setelah dia selesai menekan keypad HPnya.
“I love u, mmm..maksudku alapyu..hehehe..”
Aku mengerti maksudnya, aku berusaha untuk tersenyum menutupi keluh batin yang mungkin akan segera mati.
      “Kani, besok kan aku bakal pergi, menurut kamu apa yang mesti aku lakuin buat Lifa?” tanyanya kemudian
sambil memasukkan HP ke saku celananya.
Sejenak aku termanggu, seharusnya dia berpikir tentang apa yang harus kulakukan sebelum dia pergi tanpa menyisakan satu penyesalan yang akan mematikanku. Dan aku tak memiliki kuasa apapun bahkan lewat sebaris sajak pun aku tak kuasa. Rasanya aku lebih pantas disebut pengagum bodoh yang tak mengerti bagaimana cara menyatakan cinta.
“Kania..” lirih Akbar ketika dia mendapatiku cenung dengan air muka padam.
“Eh?” aku agak gelagapan dan cukup kikuk.
“Kayaknya akhir-akhir ini kamu sering bengong, kenapa?”
“Aku? Gak apa-apa. Serius,”
Akbar terseyum padaku, kuharap dia tak menangkap apapun dariku. Sejujurnya aku belum siap, belum siap perih lebih dalam lagi. Rasanya akan memperburuk keadaan jika kubiarkan mulutku berucap tentang hatiku. Aku menunggu waktu yang tepat, ketika keadaanlah yang memintaku untuk mencoba.
Sesaat dalam keadaan yang sama, ketika kami luput dalam keheningan sejenak, tiba-tiba kulihat seseorang mengenakan kaos hitam dan dengan bawahan jeans melintas dengan motor matic birunya, Redy melintas tepat di hadapan kami malah dia sempat menyapa kami dengan membunyikan suara klakson.
“Redy.” gumamku, ”Akbar, liat barusan dia lewat…” dan aku kembali memasang muka munafikku, aku mencubit-cubit baju Akbar hingga akhirnya Redy hilang dari pandanganku. Kutoleh Akbar, lagi-lagi aku menghela napas, dia malah kembali asyik dengan memasang headset di kedua telinganya.
***
Aku sangat ketakutan pagi ini. Usai fajar yang berlalu aku merasakan betapa aku seperti sedang berada dalam kegalauan hebat. Hingga tetes bening diantara kabut yang merabunkan pandangan membuatku seolah semakin tak berenergi. Aku merasa jarum merah akan terhenti hari ini, setelah itu aku akan mati membawa harapan yang tak terjamah.
Aku menatap kalender kecilku yang sudah penuh dengan coretan merah, dan hari ini tanda silang. Mataku mulai berkaca hingga aku tak kuasa lagi membiarkan tangisku terus mengantri di bibir mata.  Aku menatap laptopku yang sudah terhubung ke website sekolah, rasanya aku tak akan sanggup. Tak lama kemudian HPku berbunyi, aku yakin pesan itu akan mempengaruhiku, pasti. Kulihat…
Kita berdua lulus, aku
udah liat di web.
***

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.