Pages

Friday 19 August 2011

Hingga Fajar Esok Last Part


Aku telah melewati petang, selimut jingga telah melepas gemilapnya dan kemudian enyah ke upuk. Malam ini kembali tanpa terang cahya petunjuk kemahaan Tuhan, suram seperti hidupku, namun meski tak terlihat aku masih sanggup merasakannya. Dan hari ini aku harus kembali dengan kehampaan yang sama. Sejujurnya aku lelah, namun esok aku harus kembali, hingga fajar esok ketika ribuan penerang itu benar-benar kembali dan tak akan pernah berpulang. Aku tahu apa yang kulakukan setahun ini cukup mencemaskan orang tuaku, namun aku berusaha memberi mereka pengertian. Dan tentu saja Redy…entah apa yang sedang dia lakukan sekarang, aku harap saat ini juga dia menemukan kesempuraan yang tak dia dapati selama ini. Semoga.
Aku sangat lelah hari ini, aku harap besok akan lebih baik, sangat baik. Aku memasukan catatan kecilku yang dari tadi  tergeletak ke dalam saku celanaku, lalu mulai mengambil tongkatku, namun tiba-tiba aku cukup
dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang duduk di sampingku.
Aku memperhatikan kedua orang itu, satu lelaki setengah baya berbadan tegap mengenakan kaos oblong
dan celana hitam panjang serta seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya mengenakan baju blus panjang dengan rambut sebahu agak keriting yang terurai lepas. Aku makin memperhatikan mereka,  semakin kuperhatikan. Tnhan…aku yakin kalau aku mengenali mereka, ya aku yakin.
“Pak Bagus? Bu Puji?”
Mereka menolehku ketika kusapa mereka, ya mereka orang tua Akbar. Aku yakin.
“Kania? Kamu Kania?” tanya Bu Puji memastikan, kulihat matanya yang lelah menjadi sedikit berbinar.
Aku mengangguk  haru. Inilah keajaiban. Sejenak kusalami mereka tanpa merubah posisiku, aku hanya perlu berbalik sedikit hingga aku berhadapan dengan mereka. Lalu aku melihat ke belakang mereka, namun aku sama sekali tak melihat Akbar.
Aku menatap mereka, “Akbar mana?” tanyaku penuh harap, rasanya lelah setahun ini tak kurasa sama sekali ketika aku bertemu mereka.
Tampak mereka saling menoleh, aku mulai tak enak hati. Tiba- tiba Bu Puji memelukku sembari menangis, aku sungguh heran, aku harap ini bukan pertada buruk, lebih buruk dari yang kubayangkan.
“Selama ini kamu menunggu Akbar?” tanyanya tersedu, pun aku.
“Iya, setiap hari Kania di sini nunggu Akbar,”
“Kenapa kamu melakukannya?”
“Kania mencintai Akbar,”
Kudengar Bu Puji makin terisak, air matanya makin meleleh. Kulihat pula air muka Pak Bagus, ada rupa kepiluan darinya yang tak mampu dia sembunyikan dariku. Bu Puji makin memelukku erat.
“Akbar sudah meninggal,”
Mendengar itu aku merasa bumi menimpaku, ribuan panah menghujamku, dan sangat keras berderak merobek telingaku, semua rasa sakit selama ini terkumpul menerobosi batin yang sudah sangat perih. Dan air mataku tidaklah asing, mata sebab dan membengkak.
“Dia terkena Liver akut dan nyawanya tidak bisa diselamatkan,”
Aku melepas pelukan Bu Puji, aku gamam dengan pahit yang tertoreh, “Ibu bohong,”
“Tidak, Nak,” elaknya, “Waktu itu ibu berusaha menghubungi kamu dan teman-temannya di Bandung, tapi tidak ada satu pun nomor kalian di phonebook Akbar,”
Aku amat tergegar, batinku tak mau menerima, ini sandiwara, aku harus yakin itu.
Tampak Bu Puji mengeluarkan sesuatu dari tasnya, dia menujukannya padaku, ya itu HP Akbar, “Akbar sempat meminta Ibu untuk memberikan ini padamu.”
Ia memasukan headset di telinga kiriku tanpa permisi sejenak kutatap mereka, yang kulihat Bu Puji masih berderai dan Pak Bagus tetap anteng dengan keterdiaman tanpa sedikit saja berucap dan berkata bahwa
ini hanya omong kosong!
Aku mendengar lantunan lirih Akbar yang tak asing menggema di gendang telingaku, rintihan manis,
nyanyian lara pelukis bahasa batin yang tak terjamah. Aku merasa batinku telah luluh dan tersedu bersama hening malam yang tak sempurna mendengar nada-nada kecil yang tersampaikan.
“Kania gak percaya,” usai itu aku melepaskan headset lalu menggambil tongkatku, “Kalian bohong!”
Aku bergegas menghindar dari mereka, pembawa kenyataan pahit yang tak sanggup kuterima, pembawa kabar yang seakan meluluhkan perjuanganku selama ini dan menyatakan bahwa semua telah sia-sia. Aku menjauh berusaha melangkah sekencang mungkin, namun aku tak mendengar mereka memanggilku.
Hingga malam  mengantarkanku ke atas gedung, gedung yang memperlihatkanku betapa malam ini sangat legam, tanpa segores keemasan. Sungguh malam yang buruk. Ini tak adil untukku. Aku melangkah menuju ujung gedung, kali ini aku tak memperdulikan diriku sendiri, tak peduli lagi hidupku dan mereka yang sempat memasukinya, termasuk Redy. Meski…
“Kalau dia gak datang, temui aku! Aku bakal jadi orang pertama yang menyambutmu,”
Aku tak mau kembali pada Redy membawa berita tentang betapa jahatnya hidup ini, aku sudah terlalu banyak menoreh luka untuknya, cukup aku yang merasakan tancapan-tancapan jeruji malam ini. Atau jika Redy mengetahuinya dia akan menlontarkan gelak, dan menyalahkanku karena aku tak mau mempercayainya. Yang kinginkan sekarang adalah menemui Akbar, dimanapun dia, aku pasti menemukannya.
“Kalo suatu hari nanti kamu ingin menemuiku, kamu minta pada Tuhan, aku yakin Dia akan mengerti,”
Aku perlahan naik ke ujung tebing, membiarkan tongkatku terlepas, dan aku tak sadar jika aku mampu berdiri dengan satu kakiku. Aku melihat ke bawah, terang oleh lampu – lampu jalanan dan kendaraan. Dan masih kulihat betapa semua orang sibuk dengan hari mereka, mereka tak memperdulikan orang yang mungkin merindukan mereka, diantara mereka ilusiku melihat Akbar berdiri memberiku senyuman sembari melambaikan tangannya seolah memintaku untuk menghampirinya, aku yakin dia Akbar. Aku menatap langit sejenak, tidak bisakan malam ini Tuhan memberi saja setitik sinar? Aku menutup mataku, dan sekali lagi aku tak memperdulikan hidupku. Dan akhirnya aku menyerah, kujatuhkan diriku melayang hingga aku merasa bahwa ini adalah perjalanan terakhir aku menemui Akbar.
“Ada orang jatuh…”
Sayup kudengar teriakan itu, dan setelah itu aku merasa diriku remuk, tak kurasa sakit sama sekali. Masih kuasa kulihat malam ini, sepenggal purnama baru saja hengkang dari persembunyiannya, kemilau cahya mengantarkanku pada keabadian nyata, masih kudengar pula  lantunan indah yang terbata tersampaikan Akbar malam ini, sebuah lirik indah yang memberiku sejuta bahagia yang tak sempat kuukir bersama kenangan lalu yang selamanya terrekam dalam batin yang tak akan pernah mati.
tahukah Engkau wahai langit
kuingin bertemu membelai wajahnya
‘kan kupasangan hiasan angkasa yanga terindah
hanya untuk dirinya[1]
Kurasakan kesempurnaan maya yang sekian lama tak kunjung tersampaikan.Aku merasa betapa malam ini sangat indah, lebih indah dari malam lain.
[1] lirik lagu “Lagu Rindu/Kerispatih”
-Sekian-

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.