Pages

Friday 19 August 2011

Alapyu, plend ( Last Part )


Senja mulai menyapaku usai gerimis pagi yang menutupi cahya sinar raja siang hari ini mengikuti derai yang makin menjadi, aku sangat merasa kesakitan kali ini. Jingga petang ini sangat indah hanya saja aku tak kuasa menikmatinya. Sore ini aku akan menemui Akbar untuk yang terakhir kalinya di bandara Husein Sastranegara. Langkahku perlahan menghampiri sesosok dia yang telah merajai hati dan pikiranku, dia termanggu sendiri di sebuah kursi besi tanpa seulas senyum, aku mengerti. Mungkin dia tak pernah tahu betapa aku merasakan sakitnya sejak lama, namun sekarang sakitku sangat dalam sehingga aku seolah tak lagi merasakannya.
“Mana Lifa?”
Aku menghampiri dan memulai pembicaraan tanpa kusempatkan sedikit menyapanya meski hanya sekedar berkata, “Hai,”
“Aku bersama dia baru-baru ini dan aku rasa aku bakal cepat bisa melupakan dia,”
“Mungkin akan lebih baik kalo kamu menghabiskan waktu ini bersama dia,”
“Kamu pikir lebih baik aku bersama orang lain daripada sahabat aku sendiri?”
Sejujurnya aku tak mengerti dengan apa yang dia maksud, aku berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, “Maksud kamu?”
“Aku mutusin dia,”
Aku sangat kaget, secepat inikah kisah meraka? Hanya sebatas hasta saja. Seharusnya aku senang mendengarnya namun saat ini aku tak merasakan apapun. Dan seperti biasa, aku diam, aku tak tahu harus berkata apalagi. Hari ini aku tak mau banyak bicara, sungguh.
“Kamu tahu gimana aku mutusin dia?”
Aku geleng kepala.
“Lo gue end,” lanjutnya dengan mengarahkan telunjuknya padaku lalu mengarahkan membalik padanya dan terakhir dia melebarkan kedua tangannya dengan telapak tertutup.
Kulihat Akbar tertawa kecil, aku tak mengikutinya, aku tahu dia berusaha untuk tidak menangis hari ini, hanya saja dia tak tahu bagaimana cara menyembunyikannya. Dan dia kembali diam sejenak.
 “Aku gak mau terus-terusan membohongi diriku sendir,” ucapnya kemudian.
Aku menatapnya heran, hingga kubuat kerutan di keningku. Apa maksudnya? Bukankah aku yang selama ini membohongi diriku sendiri?
“Apa maksudmu?” tanyaku penasaran. Ya, sangat penasaran. Aku ingin tahu apa kata hati dia yang sebenarnya masih tersembunyi dan tak pernah kuketahui.
“Kamu gak memahamiku, Kania.”
“Bukannya selama ini kamu yang gak memahamiku?” ada setitik energi yang memaksaku melontarkan kalimat itu yang bahkan nyarisnya saja satu pengakuan besar akan mengacaukan petang ini.
Kali ini Akbar yang menatapku, kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Tuhan…baru kali ini aku melihat rona mukanya yang begitu membuatku mengelus dada. Aku tahu karena ini detik terakhir kami bisa bersebelahan seperti ini, hanya itu. aku makin merasa petang ini seperti seperti guguran kasih maya.
“A..aku..”
Perkataan Akbar terpotong oleh suara dering HPnya, aku menghela napas pelan, berusaha mengaturnya hingga aku tak mati di sini.
“Iya ma? Iya ..iya..bentar lagi Akbar ke sana. Iya.”
Akbar menutup teleponnya lantas memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Dia kembali mengarahkan pandangannya padaku, sesaat kemudian dia mengambil kembali HPnya lalu membongkarnya lantas membuka kartu yang terselip di dalamnya.
“Aku bakal ganti nomor dan menonaktifkan akun facebook aku,”
Dia mematahkan kartu lalu memasukkan kembali HPnya. Aku sangat kaget.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mutusin persahabatan kita,”
“Justru aku menyelamatkan persahabatan kita,”
“Apa maksud kamu?”
“Waktu yang akan menjawab.”
“Setelah kamu pergi?”
“Mungkin,”
“Kamu akan kembali, kan?”
“Aku gak tahu,”
“Seenggaknya dalam waktu dekat ini kamu bakal kembali buat ngurus ijazah,”
“Papa bakal nyuruh orang buat ngurus ijazah itu sampe selesai,”
“Itu artinya kamu gak akan kembali?”
Tak ada jawaban dari Akbar, dia malah menundukkan kepala, kulihat satu tetes air matanya membasahi lantai bandara. Aku semakin sesak bahkan aku merasa telah mati. Tetes bening hangat membanjiri pipiku, aku sudah tak kuasa. Andai saja Tuhan memberikanku kekuatan untuk mengakui secara leluasa satu kenyataan yang telah tersembunyi dalam batin, maka saat ini aku akan mengatakannya, aku tak mau peduli lagi jika kuingat aku adalah seorang wanita namun aku sendiri tak tahu kenapa hingga kini aku masih sama, diam dan hanya diam hingga mungkin rasaku perlahan hilang atau malah membusuk meracuni hati yang makin ajur.
Akbar mengangkat kepalanya, tampak air matanya makin membanjir. Tiba-tiba dia memelukku erat.
“Kalau kami cinta sama Redy, katakan. Jangan biarkan cinta kamu membusuk sampai kamu kehilangan kesempatan. Kamu jangan menjadi manusia pengecut.”
Dia tak mengerti bahwa sesungguhnya cintaku hanya tertuju untukknya, dia tak paham itu. Dan aku tak mau lagi menjadikan Redy sebagai pelampiasan. Sudah cukup aku menyakiti diriku sendiri. Akbar melepas pelukannya, sebenarnya aku tak mau melepasnya, aku tak mau kehilangannya. Aku akan mati. Dia menghapus tangisku, rasanya kendati dia menghapusnya, tangisnku tak kan pernah kering.
“Kamu ingatkan janji kita?”
Aku mengangguk pelan.
“Kita tetap sahabat. Selamanya akan tetap menjadi sahabat.”
Kami mengucapkan ikrar kami lirih, isak kami lebih terasa dibanding lontaran kalimat yang selama ini menghantuiku.  Dan ini adala petang terakhir yang akan melukis kenangan manis yang tak akan fana.
“Orang tuaku sudah menunggu,” Akbar bangun dari duduknya sembari menggendong tas hitam miliknya.
“Aku akan merindukanmu,” akuku, aku berdiri berhadapan dengannya.
“Bahkan aku lebih dari itu,”
Akbar perlahan membalikkan badan membelakangiku namun dia kembali memutarnya mengarah padaku.
“Kalo suatu hari nanti kamu ingin menemuiku, kamu minta pada Tuhan, aku yakin Dia akan mengerti. Selamat tinggal.”
“Aku tunggu kamu di sini, Akbar.”
Sangat berat aku melepas Akbar, dia terseyum kemudian membalikkan badan lalu mulai menjauh dari jangkauanku bahkan mungkin ini adalah untuk yang terakhir kalinya. Ragaku tak kuasa mencegahnya. Biarkan saja. Aku tahu ini bukan kemauan siapapun, ini adalah suratan, tak seorangpun sanggup menghapus sebaris saja, hanya Tuhan yang kuasa.
“Aku cinta sama kamu.”
Tuhan hanya memberiku keberanian sebatas itu, tanpa suara lantang dan ketika dia telah hilang dari pandangan. Aku menghempas tubuhku hingga lututku mencium lantai. Aku tersedu sendirian, hanya sendiri diantara keramaian orang-orang asing. Tak ada yang memperdulikannku saat ini, tak ada yang sudi menghampiriku dan menanyakan padaku tentang apa yang terjadi. Aku jadikan ini adalah sebuah kesalahan terbesarku. Ternyata dengan diam tak selamanya akan menenangkan keadaan, batinlah yang merasakan kegalauan luar biasa. Aku merasakannya sekarang. Kesempatanku telah hilang seutuhnya. Aku tak bisa bersamanya bahkan sekedar menyapanya pun aku tak akan pernah bisa lagi.
Dan petang telah sejenak meninggalkan hamparan lunar jingga yang kini telah menjadi jutaan garis kehitaman tanpa setitik sinar, kukira malam ini akan ada purnama yang bersedia bersamaku, nyatanya separuh rembulan pun tak nampak.
Aku baru menyadari bahwa malam ini aku telah duduk di tempat biasa yang seringkali kami tempati, dalam gelap aku masih bisa melihat betapa berantakannya di depan gerbang sekolah, sisa coretan-coretan berwarna melapisi jalanan, padahal siekolah sengaja mengumumkan kelulusan di website agar tak terjadi hal semacam ini, nampaknya mereka di luar sana sangat menikmati hari ini, tapi tidak untukku.  Baru beberapa jam saja tanpa Akbar aku sudah merasa mati. Tangisku belum juga usai. Aku memadangi jalanan yang silau oleh bola-bola lampu kendaraan, kuharap diantara rayapan kendaraan itu ada Akbar yang kembali menemuiku dan mengatakan bahwa ini hanya sandiwara, dia tak akan meninggalkanku. Rasanya pikiranku terlalu gila. Aku tak mau lagi menyaksikan sandirwara karena aku telah melakoninya, dan rasanya sakit sekali.
“Bagaimana neng, sekolahnya lulus kan?”
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seseorang dari arah belakang mengenakan kaos biru dan celana katun hitam panjang, tampak dia mengumpulkan bekas botol p-lox sembari memegang senter, ternyata Mang Maman.
Aku menoleh lantas tersenyum dan berusaha menutupi tangisku, “Alhamdulillah, mang.”
“Syukur kalo begitu. Kalo tidak salah ini temannya jang Akbar kan?”
Mang Maman menghampiriku dan berdiri di belakangku, aku hanya sedikit memutar badanku.
“Iya, Mang.” balasku singkat, aku malas menanyakan kenapa dia bisa mengetahuinya, prediksiku dia mengetahuinya mungkin karena kami sering kemari.
“Sekarang dia dimana?”
“Pulang ke Palembang.”
“Sayang sekali.”
Aku tak menggubrisnya lagi, aku kembali mengarah pada jalanan yang makin ramai, tampak ada diantara pengguna jalan yang masih mengenakan seragam putih abu yang penuh dengan coretan lewat di hadapanku, aku tak tahu apa yang telah dia kerjakan selain menghabiskan hari ini dengan sejuta kebahagiaan yang tak berhasil kudapati.
Terlihat Mang Maman meraba-raba tempat duduk kami dengan penerangan yang keluar dari lampu senternya, aku tak mengerti apa yang sedang dia lakukan. Aku tak berkutik, jika itu berhubungan denganku, kurasa dia akan menyampaikannya. Dan kudiamkan lelaki paruh baya itu.
“Neng bisa geser sedikit?” pinta Mang Maman sesaat kemudian.
Aku menurutinya, dengan senter yang dibawanya, dia mencari-cari sesuatu, dan sungguh aku benar-benar tak paham, “Nah ini dia,”
Aku langsung mengambil HPku dan menyalakannya, setelah itu Mang Maman malah beranjak begitu saja tanpa permisi, mungkin dia tak mau menjadi saksi kisahku bersama satu harapan kecil yang tak kunjung tersampaikan. Aku membiarkannya. Perlahan kucoba membacanya coretan yang ditulis oleh pupen biru itu.
Kita tetap sahabat. Selamanya akan tetap menjadi sahabat. Mungkin bisa bertambah namun tak akan pernah berkurang. Aku mencintaimu, teman. A K
Air mataku kembali deras, rasanya ini lebih sakit dari semua rasa sakit yang kurasa selama ini. Apa yang telah Tuhan takdirkan? Satu pengakuan kecil namun amat terasa berefek besar, sebuah pengakuan sama yang tersembunyi tanpa tanda apapun. Jika saja aku tahu, keadaannya tak akan serumit ini. Aku sangat sakit. Ingin aku berlari menyusul Akbar dan mengatakan semua yang tak sempat kukatakan. Aku tak mengerti apa yang tengah Tuhan ujikan dan apa yang akan Dia janjikan? Ini terlalu sakit untukku. Satu kenyataan yang merapuhkan harapan. Hilang, dan tak sempat kudapati satu kesempatan yang seharusnya sejak dulu kumilki. Hariku sangat buruk, lebih buruk dari hari kemarin.
“Kamu pengecut, Akbar!!! Kamu pengecut!!!!!” teriakku seperti sendu cerau, mungkin mereka yang melihatku menganggapku seperti manusia yang telah kehilangan akal sehatnya. Ini semua karena Akbar.
Ini tak adil untukku, apa yang membuat Tuhan tak sudi memberiku kesempatan? Aku hanya memintanya sejenak saja. Aku menutup mataku, memeras habis air mata yang tersisa. Kuharap setelah aku membuka mataku, kudapati Akbar sudah berdiri di hadapanku memancar satu senyuman sembari mengulurkan tangannya. Sejenak aku membiarkan ragaku mencari setitik sinar. Aku sendiri malam ini. Kugoreskan sejuta kenangan yang kutulis perlahan hingga tak akan lenyap sedetik pun.
“Kania.”
Sesaat kudengar seseorang menyebut namaku, aku yakin itu Akbar. Segera kubuka mataku lalu menatap dia yang ternyata sudah berdiri di hadapanku dengan seulas senyuman ikhlas, kulihat Redy. Mungkin ini adalah jawaban terakhir, sepenggal kisah lain yang akan menjadi pelukis batin yang tak pernah tersentuh.
-SEKIAN-

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.