Pages

Friday 19 August 2011

Hingga Fajar Esok Part 2


Kini aku bukan lagi adiratna, aku telah berubah menjadi wanita cacat yang hanya memiliki satu kaki, kaki kiriku terpaksa diamputasi akibat kecelakan yang nyaris merenggut nyawaku. Aku ingat waktu itu aku baru saja lulus SMA, dan kuputuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, bukan karena aku malu, tapi aku tak mau mempermalukan orang – orang terdekatku. Jika kuingat masa itu, aku merasa telah benar-benar mati.
Lagi, kutundukkan kepala dan memejamkan mata. Aku hanya mengerang dalam riuh diurnus.
“Kania,”
Kudengar seseorang memanggilku, aku harap dia adalah Akbar. Semoga. Aku mengangkat kepalaku untuk memastikan bahwa hari ini asaku akan terpenuhi. Kulihat dia sudah berdiri tak jauh dariku lalu mulai menghampiriku, Redy. Ini persis seperti malam itu, rupanya waktu belum sudi memihakku.
Redy mendekat lalu duduk di sampingku, sejenak dia menoleh ke arah secarik kertas lusuh yang masih menempel di sandaran kursi yang kami duduki.
“Mau apa kamu ke sini?” tanyaku agak ketus, terkadang kedatangannya yang tak tepat waktu membuatku sedikit kesal.
“Buat menyakinkan kamu kalau apa yang kamu lalukan gak ada gunanya,”
“Cukup Redy!”
Aku tak terima perkataannya, dia seolah menganggap bahwa aku wanita yang lebih bodoh dari yang kupikirkan, “Ini hidup aku, jadi kamu gak usah ikut campur,”
“Aku peduli sama kamu,”
“Karena aku cacat?”
Dia tak menyanggah, entah apa alasannya. Iya atau tidak aku sama sekali tak peduli, aku sadar betul bagaimana diriku.
“Sekarang kamu pergi!” usirku pelan, aku tak mau ucapanku malah membuat semua orang terusik dan mengganggpaku seperti wanita tak punya moral.
“Gak,” tolaknya
“Pergi!”
“Aku cinta sama kamu,”
“Jangan pernah bilang cinta kalau kamu gak ngerti apa itu cinta,”
Dan lagi dia diam, tanpa isyarat pasti. Tiba – tiba dia memelukku, aku berusaha untuk melepaskanya, kulihat beberapa pasang mata memperhatikan kami.
“Aku gak tahu mesti ngelakuin apa lagi agar kamu bisa sedikit aja melihat hati aku,”
“Kamu gak bisa lihat aku menunggu Akbar seperti ini, itu yang membuat aku gak bisa lihat hati kamu,”
Tak kudengar dia membalas ucapanku, dia malah melepas pelukannya, kulihat dia menghela napas, kutahu dia lelah, sama sepertiku. Kemudian dia bangun dari duduknya lantas perlahan pergi tanpa permisi. Aku tak mau mencegahnya.
Sejujurnya aku sangat merasa malu padanya. Semejak Akbar pergi, dia adalah satu-satunya orang yang setia di sampingku, dalam keadaan apapun. Dia yang terkadang menjadi penawar seyumku yang telah lama hilang. Bahkan yang amat kubanggakan ketika dia sering membawaku kemanapun tanpa merasa risih membawa gadis cacat sepertiku, namun seringkali sikap protesnya ketika aku menghabiskan waktu hanya untuk menunggu Akbar yang tak pasti kembali membuat aku jengkel, kendati kutahu dia melakukannya bukan tanpa alasan. Mungkin aku telah dibutakan cinta semu Akbar hingga hatiku benar-benar terkunci dan seolah menolak seseorang untuk memasukinya. Kuperhatikan dia hingga jauh dan menghilang, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, yang jelas dia hanya memiliki dua pilihan antara menyerah atau terus maju.
Aku kembali dalam sendiri. Kulihat keadaan di luar sana lewat jendela besar, surya sudah semakin tampak berdeyar menghias luna, kurasa ini sudah siang, kupastikan dengan melihat jam yang melingkar di tangan kananku, pukul 11.40 WIB. Sudah berjam-jam aku di sini, aku yakin ada beberapa diantara mereka yang mempertanyakannya, “Apa yang dia lakukan?”
Sejenak saja aku kembali menyepi, tak lama kemudian kulihat beberapa orang berdatangan, rupanya ada sebuah pesawat yang mendarat. Bergegas aku mengambil tongkatku berharap ada Akbar diantara mereka. perlahan melangkah, rasanya kakiku terasa berat. Aku berbaur dengan mereka, kulihat banyak diantara mereka memberi sambutan hangat pada orang yang baru kembali, mendekap erat melepas rindu. Aku amat iri. Mataku terus mencari-cari Akbar, tak sengaja kulihat seorang gadis yang kurasa lebih muda dariku tengah melakukan hal sering kulakukan, diam. Aku memperhatikannya, tak kusangka dia menyadarinya bahkan dia memberiku seyuman, dan aku membalasnya.
Aku kembali memusatkan perhatianku, banyak orang berkumpul di sini, tak kutemukan Akbar diantara mereka, mungkin dia belum belum keluar, semoga. Aku berusaha menenangkan batin, aku yakin Akbar akan kembali. Aku hanya perlu “sedikit” bersabar. Tentu saja mataku begitu jeli, aku tak mau jika waktu mempermainkanku. Aku berusaha menyelinap diantara riuh mereka, terus berusaha, akan kubuktikan pada Redy bahwa penantianku tak akan sia-sia.
 Ternyata tongkat yang selama ini menjadi temanku mendatangkan masalah, tiba-tiba seseorang menyenggolku, aku nyaris jatuh.
“Lo orang cacat bikin rusuh aja,”
Satu umpatan menyudutkanku, aku makin seperti gadis candala yang ajur oleh lelaki cempala itu. Saat ini aku tak mau peduli, aku tak mau mempermalukan diriku hanya karena “segores” cela saja. Aku wanita kuat. Dan aku kembali, masih sama.  Kupikir pesawat ini khusus memuat rombongan tertentu. Mungkin ini belum waktunya, ya aku yakin ini belum waktunya.
Aku membalikkan badan, ini berat, namun aku berusaha berpikir positif. Lagipula jika aku terus di sana, aku tak mau semakin mempermalukan diriku. Aku berputar balik, beranjak tanpa jawaban. Sempat kulihat tempat seseorang yang tadi memberiku senyum, ternyata dia sudah pergi, entah apa yang terjadi, kuharap dia lebih beruntung dariku.
Aku tertatih menuju tempat yang sudah menjadi rumah ke dua untukku, bukan berarti aku menyerah. Kulihat kursi itu sepi, seperti biasa, ya seperti aku. Sejenak aku terhenti, aku kembali mengingat senja itu, senja terakhir aku bersama Akbar, terselimuti tangis dan sesal. Masih kuingat kalimat terakhirnya sebelum pada akhirnya dia memutuskan meninggalkanku tanpa sempat menjamahku dan mengatakan bahwa dia mencintaiku.
“Kalau suatu hari kamu ingin menemuiku, mintalah pada Tuhan, aku yakin Dia akan mengerti,”
Telah kugumamkan munajah itu, bahkan hingga setiap helaan, dan isakku telah menjadi penawar. Namun nyatanya Tuhan masih tak bersedia, atau mungkin tak akan pernah sudi. Terkadang aku lelah, selepas fajar kembali pada pangkuan gamawan, bergeming di sini tanpa siapapun, hanya bersama erang sunyi yang tak pernah bergema , dan Tuhan belum menggaris kesempurnaan cakrabuanaku.
Aku semakin mendekati kursi itu, aku kaget ketika secarik kertas itu tak menempel lagi, aku mencoba mencari-cari ke bawah kursi dan sekeliling, mungkin saja lepas, namun aku tak melihatnya, bahkan jika ada yang menyobeknya, serpihannya pun tak ada sama sekali. Lantas aku malah memancarkan atu senyuman sempurna yang telah lama hilang mengembang dariku.
***
Dengan menggunakan taxi, aku bergegas meninggalkan bandara memutuskan untuk pergi ke halte sekolah. Firasatku cukup kuat jika kertas itu bukan hilang namun telah diambil dia, pemilik jawaban. Aku berusaha menyakinkan bahwa Akbar memang kembali, hari ini. Aku percaya.
Hanya beberapa menit saja, akhirnya aku sampai di area depan sekolah. Aku amat berbunga, sangat. Dengan langkah sebagaimana orang cacat, aku berusaha sekencang mungkin menuju halte, aku tak memperdulikan hawa gersang siang itu, peluh pun rasanya seperti bola-bola salju yang menyejukanku, aku melangkah dengan air muka berbinar, penuh asa dan kuharap tak kudapati kehampaan yang akan membuat hidupku benar-benar andam.
Aku sudah sampai, tak jauh dari halte. Aku melihat seorang laki-laki seumuranku sudah duduk di sana, dia mengenakan kemeja kotak-kotak panjang dengan melipatkan lengan bajunya hingga siku tentunya dipadukan dengan jeans dan dia mengenakan topi.
“Sejak kapan Redy senang mengenakan topi?” gumamku.
Terlihat dia menundukkan kepala, sembari memegang lipatan kertas yang kutempel di kursi itu, perlahan aku mendekat, rasanya aku sudah tak sabar, satu langkah mendekatinya, namun aku terhenti,  aku melihat diriku, tanpa kaki kanan. Aku menemui Akbar dalam keadaan yang sangat buruk, apakah dia akan menyambutku hangat? Aku menutup mata sejenak, menghela napas dan kembali bangun. Aku tahu bagaimana Akbar, aku yakin dia akan menerimaku sebagaimana aku saat ini. Aku yakin. Aku putuskan untuk tetap menemuinya, sekalipun dia tak mau menerimaku, aku ikhlas, dengan menemuinya pun ini cukup.
Semakin aku mendekat, dan berdiri agak serong di hadapannya. Sungguh aku amat gemetaran, sepertinya aku akan menjadi orang paling bahagia saat ini, Akbar kembali.
“Hai,” sapaku pelan.
Dia mengangkat kepalanya, dan memberiku senyuman. Sungguh aku sangat kaget, aku tak percaya dengan siapa yang kulihat. Aku amat remut, tanpa kubayangkan sebelumnya. Lagi-lagi orang yang sama,  dengan geram aku langsung saja enyah darinya.
“Kania..”
Redy mencegahku dengan memegang siku tanganku, aku berusaha melepaskannya, namun pegangannya terlalu kuat, “Maafin aku, aku terpaksa,”
 “Untuk apa?” sanggahku tanpa menolehnya, aku sungguh muak melihatnya.
“Aku gak suka kamu terus-terusan di sana,”
Aku melepas pegangannya lalu bergegas menjauh darinya, aku akan kembali ke bandara, aku telah membuang waktuku dengan “kejutan” konyol dari Redy. Dengan terpingkal-pingkal aku berusaha berjalan secepat mungkin agar tak kuasa terjangkau Redy.
“Dia gak bakal datang, Kania,”
Aku menghentikan langkahku, terpaksa aku menolehnya, “Kamu bukan Tuhan! Kamu gak berhak bicara seperti itu!”
Terlihat Redy berjalan menghampiriku, sebenarnya aku ingin menjauh namun sudahlah! Sejauh apapun dia pasti akan mengejarku.
“Dia baru aja setahun ninggalin kamu, jadi aku rasa sekarang-sekarang ini dia gak bakal datang. Dia baru sebentar pergi, Kania.”
“Sebentar? Kamu bilang sebentar?”
Bersamaan dengan itu kudengar lirih desing dan kurasakan ada belaian angin menyentuh rambut panjangku yang terurai begitu saja, ada segores kesejukan dalam siang yang nyaris memanggang tubuhku. Dan Redy tak bersuara.
“Akbar adalah nafasku, satu helaan saja tanpa dia, aku akan mati,”
“Kalau gitu anggap aja aku Akbar. Aku bakal merubah semua yang ada dalam diri aku menjadi Akbar, apapun itu. penampilan aku, sikap aku, ucapan aku, pikiran aku…”
“Cukup, Redy!”
Aku memotong pembicaraannya dengan bentakan yang lebih keras dari abuh kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di pinggir kami, dan aku kembali memanggil buitran beningku yang masih saja tak mau mengering.
“Kamu cinta sama aku, kan?” tanyaku dengan nada pelan, aku merasa sudah tak bernyawa lagi saat ini.
Redy mengangguk, tak kusangka dia melakukan hal yang sama denganku, membiarkan matanya berderai. Sejujurnya aku tak sanggup melihatnya, aku berusaha menutupi keibaanku padanya, aku masih tak kuasa menahan obsesiku, “Cinta adalah ketika kita sanggup membiarkan orang yang kita cintai bahagia meski kita merasakan  sakitnya.”
Keadaan hening sejenak.
“Apa kamu bahagia?”  tanya Redy kemudian, lirih.
Aku mengganguk.
Kudengar desahnya, lantas ia tersenyum, perlahan mengusap air mataku dengan jemarinya, “Orang bahagia itu gak boleh mengeluarkan air mata.”
Aku hanya menatapnya, membiarkannya menyentuhku, aku harap saat ini juga dia mampu mengetuk pintu hatiku yang telah terkunci hebat untuk siapapun.
“Pergilah.” pintanya ikhlas.
Aku terus menatapnya, air mataku malah kembali. Secepat inikah dia merubah pikirannya dan membuang jauh-jauh ambisinya?
“Hei, kenapa diam aja? Akbar udah nunggu kamu.”
Rasanya sakit sekali mendengar ucapannya, dan ini yang membuat hatiku menolak sentuhannya, dia terlalu sempurna untuk gadis sepertiku, aku terlalu buruk untuknya.
Aku memberinya senyuman, senyuman ikhlas yang kupersembahankan untuk dia, lelaki paling kuat yang pernah kukenal, lelaki asing yang kini menjadi satu-satunya yang begitu peduli dengan hidupku, lelaki yang mencintaiku lebih dari hidupnya.
Aku membalikkan badan, sejenak dia menyentuh pundakku, aku hanya melihat jemarinya yang menempel di pundakku.
“Kalau dia gak datang, temui aku! Aku bakal jadi orang pertama yang menyambutmu.”
Mataku tertutup sejenak, memeras tangis yang masih saja betah membasahi pipiku yang sudah rapuh. Perlahan aku mengayunkan kakiku, meninggalkan dia, kehidupanku yang tak kusadari. Saat ini aku seperti wanita yang tak memiliki hati, wanita biadab yang begitu saja meninggalkan dia yang mencintaiku tanpa melihat siapa aku, wanita malang yang hanya memiliki satu kaki. Aku menjauh, menjauh hingga lepas dari jangkauannya.
***
Pukul 13. 50 WIB, aku kembali duduk di kursi bisu ini usai shalat dzuhur. Aku menenangkan batin dalam munajahku. Dan telah banyak kutuangkan namanya dalam setiap tirakatku, ucap doa yang kusampaikan dalam sujudku. Aku percaya pada Tuhan. Sesakit apapun itu, inilah suratan.
Sang raja siang telah berpindah dari ubun-ubun, mulai condong ke barat. Aku mengingat saat itu, sesaat yang baru saja berlalu. Redy, untuk kali ini aku memikirkannya. Tuhan tidak adil untuknya, Tuhan malah mempertemukannya denganku, orang yang akan memberinya rasa sakit yang tak tertahan. Dan jika saja kuingat lagi, Redy bukan siapa-siapa, dia adalah pelampiasaan reflkesku, andai saja petang itu aku tak termakan api cemburu karena Akbar mendekati Lifa, mungkin saat itu aku tak melihat Redy yang kujadikan sebagai korban kemunafikkanku. Aku terpaksa melakukannya, aku tak kuat melihat Akbar bersama Lifa hingga aku menutupi perasaanku padanya dengan melirik Redy, dan karena itu pula akhirnya Akbar meninggalkanku, dia pikir aku sungguh menyukai Redy padahal Akbar juga menyukaiku, dia melakukan hal bodoh yang sama, menjadikan orang lain sebagai korban pelampiasaan perasaan kami hanya untuk menutupi detakan batin yang sesungguhnya. Dan lihatlah sekarang! Keadaan malah merumit, aku bukan hanya menyakiti diriku sendiri namun Redy.
Aku mengeluarkan catatan kecil dari saku celanaku, lalu menyobek  satu halaman dan mencoret-coretnya dengan kalimat sama yang kutuangkan di hari - hari yang lalu, aku menempelkannya dengan paku kecil yang ternyata masih tertancap di sana bekas kertas yang diambil Redy. Aku harap ini adalah kertas terakhir dan yang membawanya adalah Akbar.
Aku menghela napas, kusimpan catatan kecilku di sebelah kananku dan tongkat di sebelah kaki kiriku. Kuremas–remas jemari dan sesekali mengepalnya lalu menempelkannya di mulut. Seperti biasa, kulihat sekeliling, masih dalam keadaan yang sama, sendiri bersama lalu lalang kesibukan orang – orang asing. Mataku tentu saja menyorot semua sudut mencari sumber kekuatan hidup yang telah hilang dan sejuta senyum yang akan melepaskanku dari kekosongan yang menakutkan.
Terkadang kuakui perkataan Redy ada benarnya, aku hanya membuang tangis dan peluh saja, terdiam dalam sunyi tanpa keterpedulian mereka dan setelah itu aku kembali tanpa membawa kabar pengobat rindu yang tak tersampaikan. Dan ternyata rintihanku bukan penjamin, aku tahu itu, yang kusesalkan, Akbar tega keluar dari hidupku dengan mengganti nomor HPnya, itu malah menyakitkanku, tak  bisa lagi aku bersapa ‘selama malam’ ketika dia terjaga dan melepas kerinduan yang makin membusuk.
Senja memang telah berpulang
namun aku masih mempunyai malam
yang memancarkan sinar maha abadi
dan di antara rasi-rasi yang menghias
kutemukan titik cahya keemasan menyapa
menyampaikan kuasa Tuhan yang nyata
dan di sanalah kuyakin bahwa keajaiban itu ada 
***
*
         

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai secret reader.
Jika mau berkomentar, tulis saja.
Jika tidak, cukup baca.
Dan kembali jika kau mau.

 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.