Pages

Thursday 10 November 2011

The Firts The Last

 The First The Last
(Tuhan telah mematikan pertemuan pertama kita)
Dikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Award WR 2011

Aku melihatnya sudah tak berdaya lagi, nadinya telah mati dan sangat mematikan. Kain kafan telah berani menutupi seluruh tubuhnya yang telah kaku membiru, menyerah untuk sebentar saja berhembus. Tak mampu kudengar nada helaan napasnya yang selalu berdesah ketika dia ganar untuk berkata apa. Pangkuan khalik telah memanggilnya untuk berpulang tanpa menitipkan satu cerita abadi.

Jemariku mengusap permukaan jendela bisu, menyentuhnya dari jauh. Membiarkan deraiku bergelinang tanpa peduli pipi yang semakin lembab dan basah. Mulut bergemetaran akan salah yang sama sekali tak maksud kuperbuat, salah yang tak sepatutnya dipersalahkan. Waktu terlalu keji untuk membiarkanku dalam jerat yang menghujam dan menusukku hingga aku sendiri tak tahu harus berbuat apa.
“Kenapa?” tanyaku padanya saat kami bersua untuk yang pertama kalinya di terminal bis.
Dia memperhatikanku sejenak, “E..aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar sama dengan yang ada di facebook.”
“Aku terlihat lebih buruk?”
“Tidak.”
Aku sedikit melebarkan bibirku, sejujurnya aku agak gugup.
“Kamu lebih manis dibanding foto yang kamu pasang di profil picturemu.”
Dan lagi aku hanya sedikit memberinya senyuman, dan mataku masih tak percaya jika aku bisa menemuinya untuk yang pertama kalinya.

Dua tahun kami saling mengenal, aku mengenalinya lewat jejaring sosial, dunia yang sulit tertembus. Dan makin dekat, aku merasa dia mulai memahamiku begitupun aku. Sesekali ingin sekali aku menyentuhnya dengan jemariku yang tentu saja mampu terasa dengan nyata, hanya saja jarak adalah satu-satunya alasan. Berbicara tanpa ucapan, sekalipun gerakan bibirnya sampai pada gendang telingaku, aku tak bisa melihatnya, kesemuan itu telah biasa untukku.

Tuhan akhirnya sudi memberi kami sedikit jeda untuk saling bersapa dengan raga yang mampu terjamah, meski terasa berbeda, sejujurnya aku sangat menikmatinya.
“Besok siang aku akan segera pulang, aku takut ada yang mengetahui kepergianku,” terangnya pada suatu malam ketika kami meluangkan sedikit waktu yang terbatas untuk memasang mata di depan layar lebar. Itu pertama kalinya kami bertemu, untuk itu aku berusaha membuat malam itu lebih sempurna dari sepotong lunar yang menggantung diantara luna-luna yang menghitam.
“Memangnya tidak ada yang tahu kalau kamu ke sini dan menemuiku?”
Sebentar saja aku menolehnya, aku sedang asyik menoton film yang diputar malam itu.
“Kamu tahu sendiri, di Bogor aku kost, jadi aku rasa aku tidak perlu membertahu siapapun, aku hanya bilang pada ibu kost kalau aku akan menginap di rumah teman dan kembali besok.”
Saat itu aku putuskan memfokuskan mataku padanya, “bahkan Mia pun tidak tahu?”
Mia adalah sahabatnya, aku mengenalinya setelah dia memperkenalkannya padaku, dan aku cukup dekat dengannya,
“Kalau aku memberitahunya, aku yakin dia mau ikut ke sini.”
“Itu bagus.”
“Hei, aku hanya ingin berdua denganmu.”
Aku menatapnya, entahlah aku berusaha untuk tidak mendengarkan perkataaannya, aku yakin itu hanya lelucon.
Dia membuang napas dan memalingkan muka mengarah kembali pada layar, “Maksudku aku tidak mau pertemuan pertama kita kacau karenya keberadaannya, kamu tahu kan kalau dia terlalu banyak bicara?”
Dan sekarang giliranku mengehela napas, “kalau Mia mencarimu dan mendapatimu tidak ada di kostan lalu memberitahu orang tuamu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Ya ampun Fira, besok aku juga pulang ke Bogor, kamu jangan parno seperti ini.”

Satu tetes lagi tangis yang masih belum mengering. Kudengar renal yang mulai berjatuhan, melukisakan dayuh dalam jiwa yang merintih kesakitan tak terbendu. Tanganku masih mengelus jendela bening, berusaha untuk tetap sanggup melihat raganya yang telah hilang seutuhnya.

Setelah ini, hujatan yang tak seharusnya kuterima mungkin akan lekas menghantuiku, menghujam hati yang nyaris ikut mati. Tidak bisakan Tuhan memberiku kesempatan? Atau setidaknya bersedia merangkulku dan menenangkanku akan kesalahan besar yang akan menjadikanku tersangka.

Kring kring..

Aku mendengar telepon genggamku berbunyi, dengan gemetaran aku mengambilnya dari tasku yang menggantung di pundak.kendati aku kaget saat melihat nama si pemanggil yang muncul di layar.
“Hallo..Fira?”
Suara Mia membuatku semakin ganar, tanganku makin bergetar kencang. Aku belum siap.
“Ra, kamu di sana, kan?”
Aku berusaha menggerakan bibirku yang nyaris kaku, “I..iya.”
“Kamu sudah mendengar kabar kalau sudah tiga hari Nicolas tidak ada di kostannya?”
Ingin sekali aku menjatuhkan tubuhku, aku kembali untuk diam dan membiarkan hatiku berusaha untuk tenang.
“Kamu tahu dimana dia sekarang? Selama ini dia selalu bercerita padamu.”
Perkataannya makin membuatku mati, gemiris pagi ini malah membuatku makin tersiksa dalam kemelut yang tak mampu kucegah untuk memasuki jiwaku yang kacau.
“Ra..Fira?”
Kudengar dia memanggilku lagi lewat telepon, aku masih membiarkannya berbicara.
“Ra, kamu tahu dimana dia? Katakan padaku, orang tuanya sangat mencemaskannya.”
“A..aku..”
Mulutku masih berusaha untuk tetap diam dan tak berbicara sedikit pun, aku masih belum siap untuk dipersalahkan atas apa yang telah terjadi.
“Fira?” panggilnya lagi, “atau dia sedang bersamamu?”
Spontan aku melempar telepon selularku, membiarkannya tergeletak di lantai, sayangnya benda itu masih saja mau menyala dan membiarkan Mia terus berbicara. Tidak bisakah dia berhenti bicara?
Kali ini aku menjatuhkan tubuhku, mundur menjauhi benda itu, aku tak mau mendengar apapun. Rasa takutku telah sampai pada puncaknya.
“Fira? Katakan padaku! Aku akan sangat berterima kasih sekali kalau kamu mau memberitahuku tentang keberadaannya. Kenapa kamu diam saja?”
Aku menutup kedua telingaku, menutupnya rapat-rapat hingga tak kudengar lagi apapun. Tak kuasa lagi aku menahan kejerianku yang harus kutanggung sendiri, bahkan Tuhan pun seakan diam tanpa memberiku sedikit saja keberanian dan berkata terus terang.
AKU TELAH MENJADI TERSANGKA!

                                                                                                    ***

Masih dalam pagi yang tak kurasa lagi kharismanya, aku kembali membiarkan diriku mematung dalam hening dan sendiri yang tak seorang pun dapat menyentuhku. Aku termanggu, duduk diantara ratusan kursi yang tak berpenghuni. Aku memperhatikan sekeliling, tanpa siapapun. Aku ingin sebentar saja mengenal satu kisah yang tak pernah lepas dari ingatan, bersama seorang Nicolas di bioskop ini untuk yeng pertama kali dan terakhir kali. Pagi ini Bioskop masih tutup, untung saja ada saudaraku yang bekerja di sini, dengan sedkit paksaan, akhirnya aku diperbolehkan untuk sebentar saja masuk sebelum bioskop buka.

Aku memperhatikan satu pasang gantungan kecil yang berliontin dua nama, satu berliontin The First yang diambil dari namaku, Fira dan satu lagi The Last yang diambil dari namanya, Nicolas. Pertama dan terakhir, mungkin ini adalah isyarat yang tak kusadari sebelumnya.

Kembali aku memanggil deraiku, rasanya kali ini aku sangat rentan sekali. Masih kuingat kejadian kemarin pagi, tidak! Aku tidak mau membayangkannya lagi. Jika aku terus membayangkannya, aku tidak mau semakin merasa sangat bersalah, aku memang bersalah, sangat bersalah. Diamku masih merajai, aku belum kuasa berkata dan berbicara jujur, aku memang pengecut, bersembunyi dalam salah yang sesungguhnya tak berkenan kuperbuat. Aku masih menunggu Tuhan memberiku energi, jika sampai kapanpun masih seperti ini, entahlah aku tidak tahu apa yang harus kulakukan esok.
“Fira..”
Kudengar seseorang tiba-tiba menyebut namaku, sayup kudengar gaung suaranya yang nyaris membangungkan sunyi di ruangan ini.
Aku merasa mengenali suara itu, bukankah bisokop belum buka?
bergegas kuhapus air mataku lalu perlahan aku membalikan pandangan mata ke belakang, aku amat tersentak ketika aku melihat seorang gadis dan dua orang setengah baya menghampiriku, gadis itu..aku mulai mengingatnya, wajahnya sama seperti gambar Mia di jejaring sosia. Oh Tuhan..katakan kalau dia bukan Mia!
Mereka mengahampiriku, aku lantas berdiri,  aku kembali merasa takut, dan sepasang wanita dan lelaki itu..mungkinkah dia orang tua Nicolas?
“Fira..” panggilnya lagi, dia seperti terlihat senang melihatku, mungkin karena ini adalah pertemuan pertama kami.
“Mi..Mia..” sambutku dalam kegugupkan yang mulai kembali, lalu kulihat kedua orang asing itu, mereka memberiku sedikit senyuman dari auranya yang cukup terlihat memilukan, aku semakin yakin kalau mereka adalah orang tua Nicolas. Tuhan…
“Aku dapat alamatmu dari teman-teman sekelasmu yang aku tanyai di facebook,” kabar Mia padaku, mungkin dia tidak menyadari keadaanku yang sesungguhnya akan menjadi tamparan keras untukku.
“Mia..” lirihku, aku berusaha menutupi ketakukanku.
“Aku merasa kalau kamu mengetahui sesuatu tentang Nico,” ujarnya kemudian.
Apalagi yang kulakukan selain diam dan ketakutan? Aku berusaha untuk mencegah air mata yang tak habisnya menyentuh pipi.
Tampak wanita yang berbalut setelan baju berlengan panjang dan celana hitam panjang dan berkerudung senada dengan bajunya mendekatiku, “Sayang, kamu tahu dimana Nico sekarang?”
Semakin sesak mendengar nada suaranya yang lembut pelan, ada air muka harap dari rupanya yang terlihat masih muda itu. Dan lagi, yang kuperbuat hanya mengunci mulutku kendati tak sampai hati aku melihatnya, sejenak kupicingkan mataku menahan antrian tangis yang makin memaksaku untuk enyah dari kantung mata. Tak kusangka akan secepat ini.
“Katakan pada kami, kami sangat mencemaskannya.”
Kemudian kudengar suara yang keluar dari suaminya, dan tentu saja mimik mereka sama.
Aku telah sampai pada ketakutan luar biasa, merasa tersudutkan tanpa sadar mereka. Jiwa makin tergegar, bahkan aku tak tahu harus berkata apa, jika aku terus bergeming, aku yakin mereka akan terus mempertanyakannya bahkan mulai mencurigaiku, dan jika aku berkata jujur…Tuhan aku yakin mereka akan mengumpatku habis-habisan, aku belum menyiapakn diriku untuk menerima hujatan yang akan menyulitakanku untuk bertahan.
Tak sangka deraiku membajir tanpa permisi, aku berusaha untuk membuat mereka tak menyadarinya, hanya saja mata mereka benar-benar tertuju padaku, hingga Mia mendekat.
“Apa yang terjadi? Kamu bisa bicarakan baik-baik, kan?”

                                                                                             ***

“Kamu benar-benar biadab!!!”
Umpatan itu amat menyakitkanku, satu cerca yang keluar dari mulut wanita yang telah melahirkan Nicolas.
Aku diseret masuk jeruji mengenakan kaos biru dengan cetakan TAHANAN di punggung. Akhirnya Tuhan memberiku banyak energi untuk berucap lebih dari dayaku, satu kejujuran yang sepatutnya kuunggkap sejak kemarin, dan telah kubayangkan seburuk ini.
“Maafkan aku..”
Hanya itu yang kuasa terlontar dari mulutku yang lelah untuk berbicara, rasa bersalahku kian menjadi meski seseungguhnya aku tak sepenuhnya patut untuk dipersalahkan.
“Kenapa Nico mengenali orang sepertimu? Kamu pembunuh! Pembunuh!”
Terasa makin kesakitan, aku seperti tertusuk jutaan anak panah yang deraknya makin membuatku mati, aku tak kuasa melihat mereka, aku yakin mereka memasang mata lekat-lekat dan teramat geram, terlebih Mia, aku tidak mau membayangkan bagaimana perasaannya sekarang melihat teman yang dia kenal telah menjadi penyebab kematian Nico.
“Kamu harus merasakan akibatnya sekarang, kamu harus membusuk di sini!”
Kudengar lagi umpatan dari ibu Nicolas, hanya dia yang berbicara sementara yang lain memilih untuk termanggu menahan amarah yang tentu saja tertahan untukku.

Sesaat kemudian tak kudengar lagi suara itu, tak kurasa lagi aku berada pada himpitan yang baru saja menamparku dengan keras. Dengan perlahan aku mencoba membuka mataku, tak kulihat lagi mereka di sini, mereka telah enyah, enyah membawa kabar yang menyakitkan mereka.

Aku menjatuhkan kembali ragaku, bersandar di tembok yang berjeruji. Sejenak ingatanku malah membuka lembaran kisah usang yang seharusnya kubuang jauh. Masih kuingat ketika malam itu, ketika kami bersebelahan di eskalator, dia sedikit membetulkan gantungannya yang kami beli sebelum menonton film, tanpa aba-aba beberapa orang asing menyusul kami dari belakang dengan gurauan mereka yang berlebihan, di atas eskalator itu, mereka bergelak tawa, canda, hingga salah satu mereka sedikit menyenggol temannya, namun tak disangka senggolannya terlalu keras hingga yang terjadi Nicolas terjatuh ke bawah tanpa sanggup kucegah. Aku menyaksikan sendiri bagaimana dia terjatuh hingga ke bawah dan kepanya berlumuran darah segar. Masih kuingat pula, tangannya masih menggenggam gantungangnya yang berliontin the last, untuk yang terakhir.

Waktu telah mempersalahkanku, ya sekali lagi aku memang salah. Jika saja sebelumnya Tuhan telah mengisyaratkannya, sampai kapapun aku tak pernah mau memintanya untuk menemuiku, biarlah pertemukan pertama kami terjadi ketika kami sama-sama lagi tak bernapas.

Aku kembali memejamkan mataku yang makin sembab, menanti keajaiban yang masih sudi menghampiriku dan berkata bahwa aku akan baik-baik saja kendati dalam sendiri yang mungkin tak akan pernah terhalau dari hidupku yang nyaris mati. Rintih mulai menjadi teman setia yang akan memberiku sedikit rena redup dalam hidupku yang tersisa. Kutitipkan satu pesan kata maaf untuk dia, penghuni 

  -SEKIAN-
        ( Tgl Penulisan : 8 November 2011)

Thursday 29 September 2011

Panggil Aku Kembali

Panggil aku kembali
Oleh Lina Ramdayani

Sering aku meminta kesempuraan
kutawarkan kasih, terjelma oleh isyarat
menyentuhmu hingga kau meraihku

Kasihku bukan sebatas harap belaka
cintamu adalah penantian
tergenggam olehmu seperti dalam nirwana
kesempurnaan kisah yang nyaris saja

Enyahmu memaksaku untuk berdiam
tanpa lagi berpangku pada harap
senyum yang telah memudar bukan penawar aku berpaling
bersaksi atas perih yang tertoreh
aku berkerling ketika kau memanjanya
tidakkah kau sadar aku berdiri di belakangmu?

Dalam esok yang masih semu
serpihan yang tak kunjung terlekat
bergeming tanpa kau tahu
sapaan lain telah memanggilku
namun sedikitpun aku tak membalas

Rasaku terlalu berharga untuk kutinggalkan
tak akan aku berbalik beranjak
masih di sini aku tanpamu bersama penantianku
sekalipun kau tak akan pernah berpulang padaku

Janjimu terlalu manis untuk kupersalahkan
cinta yang telah kupertaruhkan
tak memaksamu berhembus dengan napasku

Sekalipun tak kuasa lagi aku menjangkaumu
detakanku masih terlalu rentan akan hadirmu

Tinggalkan saja jika kau mau
sakitku terlampau merajai batin
tak perlu lagi kau tanyakan dimana rasaku yang dulu
rasaku telah menerobos hingga nadi
tak akan hilang seperti kau hapus aku

Jika pada akhirnya kau merasakan sakit yang sama
panggil aku kembali
senyumku akan menyambutmu

(Lolos sampai seleksi III dalam event UNSA AWARD 2011)

Friday 9 September 2011

Malaikatmu


Terkisah aku dalam segenggam gelora
pertemuan yang terisyarat Tuhan
di bawah rona senja tanpa senyum tanpa sapa
memanggilku dari hening sunyi

Detak batin sesekali membisik
memangku sepenggal harap 
membuyar lamunan yang sempat rencat
tergores bersama kenangan
aku dan kasih yang nyaris tak tersampaikan

Deraimu bukanlah alasan
senyum tercipta untuk harapan
batin mengelus kehampaan, mematung mengerang
mencoba menghapus sebaris kepedihan 
tanpa kau tahu, aku berdiri di sampingmu

Ucap lirihku menggema dalam diammu
memintamu enyah dari jeritmu
ragaku selalu menujumu
meski tanpa kepakan sayap 
jemariku tak terhenti mengulur untukmu

Lihatlah aku seperti malaikat
menjagamu tanpa setitik jera
tak kan kupaksa kau terhenti hingga mati
kubiarkan lenteramu tetap menjadi pelita
hingga tak kurasa lagi nafasku denyutku
hidupku yang akan hilang

Yakinkanmu,
aku dan Tuhan akan selalu bersamamu

Sunday 21 August 2011

Lagu Rindu dalam Ruang Rindu Part 1


Lagu Rindu dalam Ruang Rindu 
tahun 2010 revisi 14 Maret 2011











Sampai detik ini aku masih bungkam menatap hampa sebuah amplop putih. Kemarin pagi, tiba-tiba seorang tukang pos menyampaikan amanah sebuah amplop untukku. Kuperhatikan dalam-dalam,  aku memang cukup tercengang ketika sederet huruf terukir di bagian depan amplop.
From Kartika
Jl. Mawar Mati No.5 Bogor
Jujur saja, aku cukup tak sudi mendapati seuntai kata itu. Sekilas saja hal itu menusuk batin kecilku. Perih. Entah sampai kapan kumembiarkan amplop itu tergeletak tiada nyawa. Mungkin aku hanya perlu banyak waktu agar jemariku mulai mau meraihnya.
Hari masih membuta. Fajar masih setia menemani luna hitam yang menunggu cahya surya yang akan mucul tinggal satu helaan nafas. Bersama itu, fajar pun beranjak.
Jilbabku tersentuh angin pagi lembut. Kabut masih merabunkan pandanganku. Langkahku terayun diantara tetes embun. Entah kemana tujuku. Sulit kukontrol. Aku merasa ada sesuatu yang memaksaku untuk pergi meninggalkan kemelutku selama ini dan memintaku untuk mencari sepenggal kisah yang telah hilang. Melangkah ke suatu tempat. Tempat…entahlah..aku tak tahu tempat apa.
Sejam lagi aku akan menemuimu
Aku menerima pesan singkat itu. Kuhela nafas. Aku hanya membacanya tanpa berniat menyanggahnya. Biarlah. Kala ini aku sedang malas dengan apapun meski hanya menekan keypad. Ah sudahlah!
***

Aku terhenti. Terhenti dalam kabut diantara hamparan rumput-rumput yang membisu. Tak ada siapapun di sana, kecuali aku, merpati yang hinggap, dan sepucuk surat itu. Kukatakan aku belum siap dengan coretan yang akan mewarnai lembaran itu.
Aku terhempas, duduk di atas bangku yang tak berpenghuni. Perlahan jilbabku tertiup angin yang tak bergeming. Ya, jilbabku. Entah sejak kapan aku menutup mahkotaku dengan keikhlasanku.
Kuakui, lampau aku hanya mawar layu yang terinjak oleh hina yang kubiarkan mengerogotikuku, aku hanya sampah yang selalu menebar bau busuk di hadapan aroma anggrek yang nyaris berusia senja.
Setiap kali kutemui kelambu hitam, kubiarkan ragaku terapung tanpa arah hingga keglamoran malam yang buruk menjadi santapanku. Sesering kuacuhkan setiap sapaan lembut yang tak bosan memperingatiku, namun bisikan jahanam itu terlalu kuat untuk melawannya hingga telingaku seolah tak mau lagi menyambut sapaan lembut itu. Aku benar-benar wanita murahan yang tak pernah peduli dengan apapun yang menurutku tak ada gunanya. Aku hanya butuh kesenangan, tak peduli dengan rintihan anggrek yang lelah memintaku untuk meraih sedikit saja perkataannya. Biarkan saja.
Hingga…Ketika mega yang mulai ditinggalkan triliun titik-titik hitam. Aku mulai merasa lelah dengan hidupku, aku mulai merasa kebahagianku tiada sempurna. Entah mungkin ini suratan yang tergaris untukku, tiba-tiba aku menemukan seberkas sinar diantara debu yang menyesakkanku.
“Namaku Jona.”
Ucapan pertamanya benar-benar menggetarkanku. Aku merasa sebuah tamparan lembut menghampiriku tanpa sangka hingga nyaris  membangunkanku dari semua mimpi buruk yang kulakoni. Entahlah. Kulihat kharisma menawannya, paras indo berkulih putih dengan bola mata yang indah dan rambut yang tertata rapi. Namun jujur saja semua itu tak sedikitpun meluluhkanku, hanya saja…ucapannya..sekali lagi, ucapannya benar-benar menggetarkanku. Aku merasa tak berdaya.

***

Perlahan aku mulai mengenalinya. Hampir setiap datang fajar atau senja, dia menemuiku diantara hamparan rumput. Dia selalu menjadi kumbang yang tak lelah menemui mawar layu yang telah ternodai. Dia mengajarkanku tentang sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang penuh air mata namun dijalani oleh senyuman.
Pada awalnya, aku sering menolak setiap berkas cahaya yang perlahan masuk melalui celah batinku. Aku tak peduli dengan ucapannya yang mungkin berarti namun sungguh bagiku hal itu hanya omong kosong belaka yang diungkapkan oleh orang awam yang tak memiliki hubungan apapun denganku. Untuk apa kumendengarnya? Aku baru mengenalnya tak lama ini. Ah! Kenapa takdir mempertemukanku denganya?
“Kamu ini wanita, tidak seharusnya kamu membiarkan debu-debu mengkasarkan kelembutanmu.”
Kala itu aku memang risih dengan ceramah yang membosankan darinya.
Aku merasa dia telalu mencampuri urusanku. Kendati jujur, setiap ucapannya selalu saja membuatku bergetar.
Berulang kali kutolak pesan-pesannya. Aku tak peduli. Untuk apa? Aku baru saja mengenalinya tak lama ini. Yang membuat aku heran, aku tak pernah sekalipun melihat dia melakukan sesuatu yang dia perintahkan padaku.
“Sepertinya sudah Ashar, kamu sebaiknya shalat dulu.” pintanya padaku suatu ketika.
“Kamu sendiri? Apa kamu sudah shalat?”
Ketika itu dia hanya menatapku tanpa sahutan darinya, lantas dia pergi menghindar. Hal itu sering terjadi berulang kali. Apa maksud semua itu? Sampai sekarang aku tak mengerti. Dan aku hanya membiarkan seperti itu, aku tak mau tahu dan tak akan peduli.
 “Kurasa kamu lebih cantik kalau seperti ini.”
Dia memasang jilbab putih yang menutup rambutku. Dia memancarkan senyum untukku. Manis memang. Hanya saja aku muak dengan omong kosongnya yang sampai detik itu selalu menghantuiku.
Segera kulepas jilbab itu dari kepalaku, ”Untuk apa kamu terus mencampuri urusanku?” tanyaku ketus.
Dia tak menyanggah. Diam.
“Apa kamu punya maksud di balik semua ini?” tanyaku lagi tanpa peduli apa dia tersinggung atau tidak.
Masih sama. Dia sama sekali tak berkutik. Kuperhatikan dia, segera dia memalingkan muka dariku, entah apa yang dia pikirkan. Seperti biasa, aku menangkap sinar dari matanya.
“Sudah aku duga, pasti kamu menyimpan maksud lain.”
Kusodorkan jilbab putih itu padanya. Tanpa permisi kuayunkan kaki berniat beranjak dan pergi dari semua ucapan membosankan darinya.
“Seharusnya kamu bersyukur dengan apa yang kamu miliki sekarang.”
Langahku spontan terhenti mendengar suara lembut yang sudah biasa menggetarkanku. Aku hanya terhenti, tak sedikitpun kubiarkan pandanganku tertuju padanya.
Sesaat terdengar sayup langkah menghampiriku, ”Entah dari kapan tiba-tiba saja aku merasa galau. Jujur saja aku merasa mulai ragu dengan apa yang kuyakini saat ini. Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan.”
Dia berhenti sejenak, terdengar lirih nafasnya. Kali ini kubiarkan mataku terarah padanya, dan kulihat dia masih memegang jilbab itu.
“Setiap kali kulihat orang-orang berhamburan ke mesjid ketika adzan bergema, setiap kali aku melihat santri melantunkan ayat Al qur’an, setiap kali aku melihat anak-anak kecil dengan polosnya bersenandung shalawat, aku selalu merasa damai. Entah mengapa, dalam mimpiku aku merasa ada sinar yang melelapkanku hingga aku terbangun dengan damai.”
Aku mulai tak mengerti dengan ucapannya. Sungguh aku sama sekali tak paham, apa yang dia maksud? Lagi, kulihat matanya, tak kusangka matanya mulai berkaca. Aku merasa dalam hatinya dia mempertanyakan sesuatu yang mungkin sampai detik itu tak kunjung dia dapat jawabannya. Kuhela nafas pelan. Aku tak menyahutnya ,kubiarkan dia kembali bersuara tanpa komandoku.
“Sudahlah! Lupakan saja!” lanjutnya, kulihat butiran bening yang nyaris tumpah mampu dia pertahankan dan meminta mereka kembali membasahi hatinya yang gelisah (mungkin), ”Kamu simpan ini, aku tidak peduli apa kamu mau menerimanya atau tidak.” dia menyerahkan jilbab itu padaku, seorang wanita murahan yang busuk, ”Ingat! Kamu harus bisa mengenali dirimu yang sesungguhnya, aku yakin kamu adalah wanita sempurna. Jadi jangan sia-siakan apa yang seharusnya tidak kamu sia-siakan.”
Ucapan itu..amat menyentuhku. Amat merapuhkan kebusukkan hatiku, kendati kubelum paham arti kalimat itu. Namun..aku benar-benar tersentuh. Aku tak tahu racun apa yang mulai merasuk tubuhku. Tidak! Kurasa itu bukan racun, tapi obat penawar hati agar semua pintu batinku terbuka menyambut kilau sinar yang telah lama menungguku. Kugemgam erat jilbab itu seiring dengan pandanganku yang mengarah padanya hingga dia lenyap.
“Kuharap dia akan tetap menemuiku.” lirihku tanpa sadar.

***

Lagu Rindu dalam Ruang Rindu Last Part


Sinar-sinar abadi kian menyentuhku, kubiarkan celah terbuka hingga kuasa menyambut sapaan-sapaan manis yang telah dia ucap padaku. Batinku tersiram air yang mampu membeningkan setiap noda yang tersisa. Kucoba belajar dari setiap kalimat yang selalu mengiringiku dengan tulus. Ini amat berarti. Ya, kusebut ini berarti. Kata-katanya bukan lagi omong kosong yang kebiarkan keluar masuk tanpa makna. Kali ini aku mulai menerima semua pesan abadinya. Kuakui saat itu aku mulai sanggup melawan bisikan jahanam yang telah lama bersarang meracuni jiwaku.
Kulihat diriku sendiri lewat cermin, aku tersenyum namun sesaat aku enggan melihat diriku sendiri. Pantaskah seorang wanita murahan sepertiku mengenakan jilbab suci yang menutup aibku? Tuhan..mungkin aku akan menjadi cibiran dunia.
“Kamu lebih cantik kalau seperti ini.”
Aku kembali mengingat pujian ngawurnya itu. Kendati seperti itu, apa mungkin hatiku mampu seperti apa yang dia ucapkan? hmm…sudahlah! Aku tak mau peduli dengan hal yang meragu. Kubiarkan jilbab itu melekat, dan kuharap tetap bersamaku hingga aku tiada lagi bernafas. Kuikrarkan apa yang seharusnya kulakukan. Aku yakin akan ini. Aku yakin.

***

Hari pertama aku menjadi wanita yang tertutup dari segala keburukan. Sudah kuduga, setiap pasang mata yang melihatku, tertawa dan mengumpatku.  Sakit memang.Namun aku tak peduli. Hari itu aku putuskan untuk menemuinya di tempat yang biasa aku dan dia bertatap dan menyapa. Akan kutunjukkan bahwa aku telah menjadi apa yang dia inginkan. Ku akan menemuinya di atas hamparan rumput hijau, di bawah lazuardi yang selama ini membisu. Aku merasakan sebuah kedamaian yang nyata. Kutelah menemui makna hidup yang sesungguhnya. Aku berdiri, mencari sosoknya yang selalu menyambutku diantara tetes embun yang selalu membangunkanku dan senja jingga yang melelapkanku. Namun, tak kulihat dia, tak kutemukan lenteraku, kemana dia? Segera kulangkahkan kakiku, duduk di atas bangku.
“Mungkin dia belum datang.” sangkaku
Namun,cukup lama aku menunggu, menunggu bersama merpati yang bungkam menatap kehampaanku. Dia tak kunjung datang. Apa yang terjadi? Mungkinkah dia mulai bosan denganku yang tak pernah mau mendengarnya? ataukah dia membenci ketidakpeduliaanku padanya?Tuhan…

***

Setiap hari aku membiarkan jiwaku menuju tempat itu, berharap dia ada. Namun sampai detik itu dia tak sedikitpun menampakkan dirinya, bahkan aku tak mendapat kabar darinya. Aku luluh. Aku merasa hampa. Aku merasa kehilangan penawar kasih yang mulai kurasakan. Ya, kuakui aku mulai menaruh rasa padanya.  Aku jatuh cinta padanya.Kuingin menemuinya. Namun kapan?
Setiap malam aku bermunajah dalam sujudku berharap aku akan menemuinya. Aku akan menunggu hingga aku menutup mataku selamanya. Kuyakin dia masih ada.
Kekepal erat surat itu tatkala aku memutar memori yang telah lama usai. Tangisku membanjir. Aku merasa sesak. Aku tak sanggup lagi dengan kenyataan ini. Sudah cukup lama aku menunggu hingga saat ini. Namun semua seakan sia-sia. Aku mulai menyerah dengan keadaan. Aku lelah dengan penantian yang tak kunjung usai.
Surat itu…
Kutatap kembali surat itu. Kubaca lagi si pengirimnya.
From  Kartika
Jl.Mawar Mati No.5 Bogor
Kuhela nafas. Nama itu…
“Jona, untuk apa kamu berhubungan dengan wanita murahan seperti dia? Dia itu hanya sampah!”
Ketika itu umpatan menyakitkan itu sempat keluar dari orang yang melahirkannya, Kartika…
Ah…sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu, semua telah berlalu. Saat ini yang harus aku lakun adalah membaca surat itu. Ya, membacanya…tak peduli dengan kalimat apa yang terukir di dalamnya.
Perlahan kubuka amplop itu, di dalam terselip dua lembar kertas.

Bogor, 11 Februari 2010
Untuk Azifa Arina

Entah dari mana saya harus bicara. Saya merasa bersalah pada puteraku dan kau.
Mungkin kau heran kenapa tiba-tiba saja Jona menghilang dari hidupmu, jangan salahkan dia, karena saya yang memaksanya untuk menjauh darimu.
Jujur saja, awalnya saya tidak menyukai kehadiranmu, karena itu kupaksa Jona untuk segera meninggalkanmu tanpa pamit. Meski Dia sempat meminta satu hal sulit dari saya. Dengan berat hati kuturuti permintaanya asal dia mau menjauh darimu.
Kami pindah ke Singapore dengan harapan dia mampu melupakanmu, namun apa nyatanya? sama sekali dia tak mau melepas kenanganmu. Berulang kali saya memaksanya untuk melupakanmu, namun sulit. Hingga malam itu…dia  mengalami kecelakan hingga nyawanya tak tertolong.
Sebelum dia menghembuskan nafas terakhir, dia sempat memohon padaku untuk menitipakn surat untukmu, (saya selipkan surat itu dalam amplop ini).
Sejak itu aku mulai menyadari bahwa keberadaanmu menguatkannya. Saat itu saya merasa bersalah, membiarakan puteranya tertekan dengan kehendak ibunya. Saya  sadar sekarang..
Saya minta maaf padamu, saya tahu kau mungkin tak mau memaafkanku, tapi tolong…ini demi Jona..Sekali lagi saya minta maaf.

Kartika

Air mataku benar-benar membanjir, mimpikah aku?? Dia..
Segera kubuka lembaran kertas satu lagi.

Untuk wanita sempurna

Aku melihatmu saat itu. Aku merasa aku menemukan sesuatu darimu.
Semejak mengenalmu, aku merasa damai. Meski keadaanmu saat itu tak baik. Namun entah energi dari mana tiba-tiba aku ingin memperingatimu dengan apa yang kau jalani. Meski jujur, aku tidak tahu banyak dengan agama yang kau yakini. Aku terlalu awam. Jujur saja, aku hanya memegang alkitab, namun sungguh aku merasa ragu dengan itu. Entahlah.
Aku berusaha untuk menjadikanmu wanita sempurna di mata agamamu. Seiring waktu, tanpa sadarmu kamu telah membuatku jatuh cinta pada keyakinanmu dan dirimu. Ya, aku merasakan hal itu.
Namun tanpa mauku, tiba-tiba keluargaku memintaku untuk meninggakanmu tanpa alasan yang masuk akal. Aku tak tahu harus bagaimana. Hingga kuputuskan untuk rela meniggalkanmu asal aku pindah keyakinan. Awalnya mereka menolak, namun aku terus memaksa. Hingga mereka mengalah.
Lihatlah..aku sama sepertimu sekarang…
Maafkan aku…aku tak pamit padamu, .aku tak bermaksud meninggalkanmua...maafkan aku, terima kasih atas segalanya.
Orang yang mencintaimu dan agamamu
Kali ini aku menangis histeris, kantung air mataku terperas habis hingga nyaris tak tersisa. Pedih. Aku tak percaya dengan apa yang kudapatkan. Ini tidak mungkin! Kupeluk erat surat itu, aku merasa ada nyawanya menyentukku. Aku merindukannya.
“Azifa.”
Tiba-tiba suara yang amat kukenali menghampiriku. Aku tahu siapa dia. Segera kuhapus air mataku. Kuharap dia mengerti. Aku menoleh padanya, kita saling melempar senyum. Segera aku bangkit dan tertatih menghampiriya, dia meraihku. Aku melangkah bersamanya. Bersama dia yang telah memiliku. Kita beranjak dari tempat itu, dari memori yang tercipta di sana, kenangan yang selamanya tak akan kulenyapkan dari ingatanku. Kulihat dia yang baru saja sukses meraihku, jika saya aku memperdulikan hatinya, ketika itu pula aku akan segera melepas gemgamannya, setelah itu aku akan lari menjauhinya, sangat jauh, sungguh hatiku telah rapat terhalang oleh cinta Jona yang kini hilang dari pandanganku, bahkan jika aku tak melihat kesetiannya, dia yang kini telah memilikiku, aku akan memaksa Tuhan untuk segera memanggilku lalu kupinta Dia untuk mempertemukanku dengan Jona, sungguh jika itu terjadi, aku akan memeluknya erat dan aku hanya akan mengatakan dua kata untuknya, “Aku mencintaimu.” , namun aku masih sadar, aku harus bertanggung jawab atas janjiku untuk setia mempertahankan kasih dia yang mempersuntingku sebulan yang lalu. Aku harus siap, seburuk apapun itu, karena aku yakin dia tak akan mengingkari janjinya. Aku yakin.
SEKIAN

Fajar Pada Suatu Sore

Fajar  Pada Suatu Sore
Lina Ramdayani
(21 Agustus 2011)

Satu sapa yang sempat menjadi asa
segelintir mimpi yang tak tersentuh
menciptakan setitik isyarat
untuk segores jingga
sebelum surya tampak di upuk

Tertoreh semara yang tersembunyi dalam batin
membaburkan perasaan hingga dura
dan gemilap rona fajar
memberi damai yang nyaris sempurna

Sebaris bahasa batin itu tersampaikan
menyapaku ketika senja menyambut
sempat aku bergeming
hingga kuhalau sebutir derai
apakah aku masih bermimpi?

Kau tawarkan aku segenggam bahagia
yang sempat kutoreh dalam mimpi
masih tersimpan asa yang tak kau ketahui
hingga esok atau bahkan selamanya
tak kan kubiarkan mulut berucap

Bagiku kau adalah fajar
menyapaku ketika aku terjaga
dan tak ‘kan berpulang
sebelum aku siap mengukir kenangan lain
tanpa kemilaumu

Fajar dalam petang yang fana
temui aku esok bersama nuriah jinggamu
aku akan menunggumu
hingga Tuhan mencabut kasih
yang kusimpan hanya untukmu

(untuk DIA [Dawn In the Afternoon] seseorang yang nyaris memberi kesempurnaan dalam hidupku bakan nyaris mematikanku. Dia yang sempat kucintai)

Saturday 20 August 2011

Suatu Petang di Medan


Suatu Petang di Medan
Agustus 2011
Dikutsertakan dalam Lomba Menulis Puisi Nasional 2011

Suatu petang di medan
gema derak mematikan cakrabuana
melesat menancapkan kemelut
hingga ribuan insan wigata jeri
merintih terisak hingga batin yang terkoyak

Suatu petang di medan
lelaki renta terjaga dari duranya
melupakan raga dan gana
melesatkan sebatang panah tua
kepada mereka pencari pajuan
hanya demi sebuah merdeka

Suatu petang di medan
tanah kami makin babur
bonar makin mengusik rasa
hingga setangkai panah menimpa si renta
raganya ajur tiada lagi berdaya
begitu jemawa mereka menertawakannya

Suatu petang di medan
ribuan derai mengiringi
lelaki yang telah andam
tanpa lagi kesempurnaan raga
dan di bawah renal senja
sempat tersimpan asa
bahwa kami masih bisa merdeka
 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.