Pages

Thursday 10 November 2011

The Firts The Last

 The First The Last
(Tuhan telah mematikan pertemuan pertama kita)
Dikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Award WR 2011

Aku melihatnya sudah tak berdaya lagi, nadinya telah mati dan sangat mematikan. Kain kafan telah berani menutupi seluruh tubuhnya yang telah kaku membiru, menyerah untuk sebentar saja berhembus. Tak mampu kudengar nada helaan napasnya yang selalu berdesah ketika dia ganar untuk berkata apa. Pangkuan khalik telah memanggilnya untuk berpulang tanpa menitipkan satu cerita abadi.

Jemariku mengusap permukaan jendela bisu, menyentuhnya dari jauh. Membiarkan deraiku bergelinang tanpa peduli pipi yang semakin lembab dan basah. Mulut bergemetaran akan salah yang sama sekali tak maksud kuperbuat, salah yang tak sepatutnya dipersalahkan. Waktu terlalu keji untuk membiarkanku dalam jerat yang menghujam dan menusukku hingga aku sendiri tak tahu harus berbuat apa.
“Kenapa?” tanyaku padanya saat kami bersua untuk yang pertama kalinya di terminal bis.
Dia memperhatikanku sejenak, “E..aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar sama dengan yang ada di facebook.”
“Aku terlihat lebih buruk?”
“Tidak.”
Aku sedikit melebarkan bibirku, sejujurnya aku agak gugup.
“Kamu lebih manis dibanding foto yang kamu pasang di profil picturemu.”
Dan lagi aku hanya sedikit memberinya senyuman, dan mataku masih tak percaya jika aku bisa menemuinya untuk yang pertama kalinya.

Dua tahun kami saling mengenal, aku mengenalinya lewat jejaring sosial, dunia yang sulit tertembus. Dan makin dekat, aku merasa dia mulai memahamiku begitupun aku. Sesekali ingin sekali aku menyentuhnya dengan jemariku yang tentu saja mampu terasa dengan nyata, hanya saja jarak adalah satu-satunya alasan. Berbicara tanpa ucapan, sekalipun gerakan bibirnya sampai pada gendang telingaku, aku tak bisa melihatnya, kesemuan itu telah biasa untukku.

Tuhan akhirnya sudi memberi kami sedikit jeda untuk saling bersapa dengan raga yang mampu terjamah, meski terasa berbeda, sejujurnya aku sangat menikmatinya.
“Besok siang aku akan segera pulang, aku takut ada yang mengetahui kepergianku,” terangnya pada suatu malam ketika kami meluangkan sedikit waktu yang terbatas untuk memasang mata di depan layar lebar. Itu pertama kalinya kami bertemu, untuk itu aku berusaha membuat malam itu lebih sempurna dari sepotong lunar yang menggantung diantara luna-luna yang menghitam.
“Memangnya tidak ada yang tahu kalau kamu ke sini dan menemuiku?”
Sebentar saja aku menolehnya, aku sedang asyik menoton film yang diputar malam itu.
“Kamu tahu sendiri, di Bogor aku kost, jadi aku rasa aku tidak perlu membertahu siapapun, aku hanya bilang pada ibu kost kalau aku akan menginap di rumah teman dan kembali besok.”
Saat itu aku putuskan memfokuskan mataku padanya, “bahkan Mia pun tidak tahu?”
Mia adalah sahabatnya, aku mengenalinya setelah dia memperkenalkannya padaku, dan aku cukup dekat dengannya,
“Kalau aku memberitahunya, aku yakin dia mau ikut ke sini.”
“Itu bagus.”
“Hei, aku hanya ingin berdua denganmu.”
Aku menatapnya, entahlah aku berusaha untuk tidak mendengarkan perkataaannya, aku yakin itu hanya lelucon.
Dia membuang napas dan memalingkan muka mengarah kembali pada layar, “Maksudku aku tidak mau pertemuan pertama kita kacau karenya keberadaannya, kamu tahu kan kalau dia terlalu banyak bicara?”
Dan sekarang giliranku mengehela napas, “kalau Mia mencarimu dan mendapatimu tidak ada di kostan lalu memberitahu orang tuamu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Ya ampun Fira, besok aku juga pulang ke Bogor, kamu jangan parno seperti ini.”

Satu tetes lagi tangis yang masih belum mengering. Kudengar renal yang mulai berjatuhan, melukisakan dayuh dalam jiwa yang merintih kesakitan tak terbendu. Tanganku masih mengelus jendela bening, berusaha untuk tetap sanggup melihat raganya yang telah hilang seutuhnya.

Setelah ini, hujatan yang tak seharusnya kuterima mungkin akan lekas menghantuiku, menghujam hati yang nyaris ikut mati. Tidak bisakan Tuhan memberiku kesempatan? Atau setidaknya bersedia merangkulku dan menenangkanku akan kesalahan besar yang akan menjadikanku tersangka.

Kring kring..

Aku mendengar telepon genggamku berbunyi, dengan gemetaran aku mengambilnya dari tasku yang menggantung di pundak.kendati aku kaget saat melihat nama si pemanggil yang muncul di layar.
“Hallo..Fira?”
Suara Mia membuatku semakin ganar, tanganku makin bergetar kencang. Aku belum siap.
“Ra, kamu di sana, kan?”
Aku berusaha menggerakan bibirku yang nyaris kaku, “I..iya.”
“Kamu sudah mendengar kabar kalau sudah tiga hari Nicolas tidak ada di kostannya?”
Ingin sekali aku menjatuhkan tubuhku, aku kembali untuk diam dan membiarkan hatiku berusaha untuk tenang.
“Kamu tahu dimana dia sekarang? Selama ini dia selalu bercerita padamu.”
Perkataannya makin membuatku mati, gemiris pagi ini malah membuatku makin tersiksa dalam kemelut yang tak mampu kucegah untuk memasuki jiwaku yang kacau.
“Ra..Fira?”
Kudengar dia memanggilku lagi lewat telepon, aku masih membiarkannya berbicara.
“Ra, kamu tahu dimana dia? Katakan padaku, orang tuanya sangat mencemaskannya.”
“A..aku..”
Mulutku masih berusaha untuk tetap diam dan tak berbicara sedikit pun, aku masih belum siap untuk dipersalahkan atas apa yang telah terjadi.
“Fira?” panggilnya lagi, “atau dia sedang bersamamu?”
Spontan aku melempar telepon selularku, membiarkannya tergeletak di lantai, sayangnya benda itu masih saja mau menyala dan membiarkan Mia terus berbicara. Tidak bisakah dia berhenti bicara?
Kali ini aku menjatuhkan tubuhku, mundur menjauhi benda itu, aku tak mau mendengar apapun. Rasa takutku telah sampai pada puncaknya.
“Fira? Katakan padaku! Aku akan sangat berterima kasih sekali kalau kamu mau memberitahuku tentang keberadaannya. Kenapa kamu diam saja?”
Aku menutup kedua telingaku, menutupnya rapat-rapat hingga tak kudengar lagi apapun. Tak kuasa lagi aku menahan kejerianku yang harus kutanggung sendiri, bahkan Tuhan pun seakan diam tanpa memberiku sedikit saja keberanian dan berkata terus terang.
AKU TELAH MENJADI TERSANGKA!

                                                                                                    ***

Masih dalam pagi yang tak kurasa lagi kharismanya, aku kembali membiarkan diriku mematung dalam hening dan sendiri yang tak seorang pun dapat menyentuhku. Aku termanggu, duduk diantara ratusan kursi yang tak berpenghuni. Aku memperhatikan sekeliling, tanpa siapapun. Aku ingin sebentar saja mengenal satu kisah yang tak pernah lepas dari ingatan, bersama seorang Nicolas di bioskop ini untuk yeng pertama kali dan terakhir kali. Pagi ini Bioskop masih tutup, untung saja ada saudaraku yang bekerja di sini, dengan sedkit paksaan, akhirnya aku diperbolehkan untuk sebentar saja masuk sebelum bioskop buka.

Aku memperhatikan satu pasang gantungan kecil yang berliontin dua nama, satu berliontin The First yang diambil dari namaku, Fira dan satu lagi The Last yang diambil dari namanya, Nicolas. Pertama dan terakhir, mungkin ini adalah isyarat yang tak kusadari sebelumnya.

Kembali aku memanggil deraiku, rasanya kali ini aku sangat rentan sekali. Masih kuingat kejadian kemarin pagi, tidak! Aku tidak mau membayangkannya lagi. Jika aku terus membayangkannya, aku tidak mau semakin merasa sangat bersalah, aku memang bersalah, sangat bersalah. Diamku masih merajai, aku belum kuasa berkata dan berbicara jujur, aku memang pengecut, bersembunyi dalam salah yang sesungguhnya tak berkenan kuperbuat. Aku masih menunggu Tuhan memberiku energi, jika sampai kapanpun masih seperti ini, entahlah aku tidak tahu apa yang harus kulakukan esok.
“Fira..”
Kudengar seseorang tiba-tiba menyebut namaku, sayup kudengar gaung suaranya yang nyaris membangungkan sunyi di ruangan ini.
Aku merasa mengenali suara itu, bukankah bisokop belum buka?
bergegas kuhapus air mataku lalu perlahan aku membalikan pandangan mata ke belakang, aku amat tersentak ketika aku melihat seorang gadis dan dua orang setengah baya menghampiriku, gadis itu..aku mulai mengingatnya, wajahnya sama seperti gambar Mia di jejaring sosia. Oh Tuhan..katakan kalau dia bukan Mia!
Mereka mengahampiriku, aku lantas berdiri,  aku kembali merasa takut, dan sepasang wanita dan lelaki itu..mungkinkah dia orang tua Nicolas?
“Fira..” panggilnya lagi, dia seperti terlihat senang melihatku, mungkin karena ini adalah pertemuan pertama kami.
“Mi..Mia..” sambutku dalam kegugupkan yang mulai kembali, lalu kulihat kedua orang asing itu, mereka memberiku sedikit senyuman dari auranya yang cukup terlihat memilukan, aku semakin yakin kalau mereka adalah orang tua Nicolas. Tuhan…
“Aku dapat alamatmu dari teman-teman sekelasmu yang aku tanyai di facebook,” kabar Mia padaku, mungkin dia tidak menyadari keadaanku yang sesungguhnya akan menjadi tamparan keras untukku.
“Mia..” lirihku, aku berusaha menutupi ketakukanku.
“Aku merasa kalau kamu mengetahui sesuatu tentang Nico,” ujarnya kemudian.
Apalagi yang kulakukan selain diam dan ketakutan? Aku berusaha untuk mencegah air mata yang tak habisnya menyentuh pipi.
Tampak wanita yang berbalut setelan baju berlengan panjang dan celana hitam panjang dan berkerudung senada dengan bajunya mendekatiku, “Sayang, kamu tahu dimana Nico sekarang?”
Semakin sesak mendengar nada suaranya yang lembut pelan, ada air muka harap dari rupanya yang terlihat masih muda itu. Dan lagi, yang kuperbuat hanya mengunci mulutku kendati tak sampai hati aku melihatnya, sejenak kupicingkan mataku menahan antrian tangis yang makin memaksaku untuk enyah dari kantung mata. Tak kusangka akan secepat ini.
“Katakan pada kami, kami sangat mencemaskannya.”
Kemudian kudengar suara yang keluar dari suaminya, dan tentu saja mimik mereka sama.
Aku telah sampai pada ketakutan luar biasa, merasa tersudutkan tanpa sadar mereka. Jiwa makin tergegar, bahkan aku tak tahu harus berkata apa, jika aku terus bergeming, aku yakin mereka akan terus mempertanyakannya bahkan mulai mencurigaiku, dan jika aku berkata jujur…Tuhan aku yakin mereka akan mengumpatku habis-habisan, aku belum menyiapakn diriku untuk menerima hujatan yang akan menyulitakanku untuk bertahan.
Tak sangka deraiku membajir tanpa permisi, aku berusaha untuk membuat mereka tak menyadarinya, hanya saja mata mereka benar-benar tertuju padaku, hingga Mia mendekat.
“Apa yang terjadi? Kamu bisa bicarakan baik-baik, kan?”

                                                                                             ***

“Kamu benar-benar biadab!!!”
Umpatan itu amat menyakitkanku, satu cerca yang keluar dari mulut wanita yang telah melahirkan Nicolas.
Aku diseret masuk jeruji mengenakan kaos biru dengan cetakan TAHANAN di punggung. Akhirnya Tuhan memberiku banyak energi untuk berucap lebih dari dayaku, satu kejujuran yang sepatutnya kuunggkap sejak kemarin, dan telah kubayangkan seburuk ini.
“Maafkan aku..”
Hanya itu yang kuasa terlontar dari mulutku yang lelah untuk berbicara, rasa bersalahku kian menjadi meski seseungguhnya aku tak sepenuhnya patut untuk dipersalahkan.
“Kenapa Nico mengenali orang sepertimu? Kamu pembunuh! Pembunuh!”
Terasa makin kesakitan, aku seperti tertusuk jutaan anak panah yang deraknya makin membuatku mati, aku tak kuasa melihat mereka, aku yakin mereka memasang mata lekat-lekat dan teramat geram, terlebih Mia, aku tidak mau membayangkan bagaimana perasaannya sekarang melihat teman yang dia kenal telah menjadi penyebab kematian Nico.
“Kamu harus merasakan akibatnya sekarang, kamu harus membusuk di sini!”
Kudengar lagi umpatan dari ibu Nicolas, hanya dia yang berbicara sementara yang lain memilih untuk termanggu menahan amarah yang tentu saja tertahan untukku.

Sesaat kemudian tak kudengar lagi suara itu, tak kurasa lagi aku berada pada himpitan yang baru saja menamparku dengan keras. Dengan perlahan aku mencoba membuka mataku, tak kulihat lagi mereka di sini, mereka telah enyah, enyah membawa kabar yang menyakitkan mereka.

Aku menjatuhkan kembali ragaku, bersandar di tembok yang berjeruji. Sejenak ingatanku malah membuka lembaran kisah usang yang seharusnya kubuang jauh. Masih kuingat ketika malam itu, ketika kami bersebelahan di eskalator, dia sedikit membetulkan gantungannya yang kami beli sebelum menonton film, tanpa aba-aba beberapa orang asing menyusul kami dari belakang dengan gurauan mereka yang berlebihan, di atas eskalator itu, mereka bergelak tawa, canda, hingga salah satu mereka sedikit menyenggol temannya, namun tak disangka senggolannya terlalu keras hingga yang terjadi Nicolas terjatuh ke bawah tanpa sanggup kucegah. Aku menyaksikan sendiri bagaimana dia terjatuh hingga ke bawah dan kepanya berlumuran darah segar. Masih kuingat pula, tangannya masih menggenggam gantungangnya yang berliontin the last, untuk yang terakhir.

Waktu telah mempersalahkanku, ya sekali lagi aku memang salah. Jika saja sebelumnya Tuhan telah mengisyaratkannya, sampai kapapun aku tak pernah mau memintanya untuk menemuiku, biarlah pertemukan pertama kami terjadi ketika kami sama-sama lagi tak bernapas.

Aku kembali memejamkan mataku yang makin sembab, menanti keajaiban yang masih sudi menghampiriku dan berkata bahwa aku akan baik-baik saja kendati dalam sendiri yang mungkin tak akan pernah terhalau dari hidupku yang nyaris mati. Rintih mulai menjadi teman setia yang akan memberiku sedikit rena redup dalam hidupku yang tersisa. Kutitipkan satu pesan kata maaf untuk dia, penghuni 

  -SEKIAN-
        ( Tgl Penulisan : 8 November 2011)
 
Copyright (c) 2010 Segores Coretan and Powered by Blogger.